Artikel - Memulihkan pekerja korban TPPO lewat pemberdayaan sosial
...Terima kasih kepada Bu Risma atas bantuan yang akan diberikan. Saya dengan kejadian seperti ini tidak akan kembali lagi ke luar negeri dan berusaha di sini saja, ujar Wahyu
Jakarta (ANTARA) - Pulang kampung pada Hari Raya Idul Adha tahun ini malah menggoreskan trauma bagi seorang pekerja migran Indonesia (PMI) asal Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, Wahyuningtyas.
Susah payah bekerja di Ipoh, Perak, Malaysia selama 4 tahun, Wahyu, begitu ia disapa, ditelantarkan begitu saja bersama 50 PMI lainnya di sebuah hutan belantara kawasan Sungai Pasir Kapas, Dumai, Riau, oleh calo yang mempekerjakannya.
Perempuan 45 tahun itu mengaku bahwa ia mengikuti jalur yang salah dengan bekerja tanpa dokumen legal sebagai PMI. Sebab itulah, tidak ada pihak yang bertanggung jawab penuh atas kepulangan mereka.
Masih jelas dalam ingatannya, di tengah hutan Wahyu dan para PMI tersebut ditempatkan di sebuah gubuk yang sangat berbahaya karena tanpa ada makanan, minuman, bahkan keperluan untuk bertahan. Padahal di antara para pekerja tersebut ada yang membawa bayi, anak-anak, maupun sedang mengandung.
Pada akhirnya mereka berjalan kaki keluar dari hutan tersebut sejak dini hari hingga berhasil menemukan sebuah warung kecil untuk membeli makanan dan minuman.
Beruntung di warung tersebut, para PMI tersebut berjumpa dengan aparat penegak hukum yang langsung memberikan bantuan perlindungan hingga pulang dengan selamat.
Kejadian tersebut membuat Wahyu berpikir ulang untuk kembali kerja di luar negeri dan ikut dengan calo tenaga kerja ilegal. Ia sendiri mengakui baru kali pertama bekerja seperti itu.
“Saya tidak mau kembali lagi, takut dan trauma dibohongi. Kalau kami sampai mati, bagaimana?” ujar Wahyu.
Oleh karenanya, Wahyu ingin kembali menjadi ibu rumah tangga dan berkumpul bersama suami dan kedua anaknya. Sehari-harinya, ia memang hanya menjadi ibu rumah tangga yang membantu suaminya berladang pisang dan jagung.
Oleh karena itu, saat mendapat kesempatan bertemu dengan Menteri Sosial Tri Rismaharini di Sentra Efata Kupang, Nusa Tenggara Timur, Rabu (12/7), Wahyu menyampaikan keinginannya untuk membuka kios sembako di depan rumahnya.
Tidak hanya Wahyu, 21 eks-PMI asal NTT lainnya juga menyampaikan keinginannya untuk berternak babi, kambing, menanam sayuran, hingga membuka bengkel dan menjahit. Keinginan tersebut langsung diproses oleh Mensos Risma.
“Terima kasih kepada Bu Risma atas bantuan yang akan diberikan. Saya dengan kejadian seperti ini tidak akan kembali lagi ke luar negeri dan berusaha di sini saja,” ujar Wahyu.
Korban TPPO yang dihadirkan berjumlah 22 orang, tujuh orang di antaranya dipulangkan dari kasus yang terjadi di Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
Tujuh orang tersebut terdiri atas tiga orang dari Kabupaten Malaka, satu dari Kabupaten Timor Tengah Utara, dua orang dari Kabupaten Belu dan dan satu orang dari Ende. Adapun 15 orang lainnya adalah korban dari kasus lain yang berasal dari Timor Tengah Utara.
Kementerian Sosial (Kemensos) dalam penanganan korban TPPO bekerja sama dengan pihak terkait seperti aparat penegak hukum hingga pemerintah daerah menyelenggarakan program pemberdayaan ekonomi para eks-PMI yang terjebak dalam tindak pidana tersebut.
Adapun Mensos Risma mengupayakan pemberdayaan ekonomi dengan menjadikan para eks PMI sebagai wirausaha, agar mereka tidak kembali diiming-imingi pekerjaan secara ilegal di luar negeri.
Mensos Risma sebelum membuat program pemberdayaan untuk eks-PMI di NTT, mengaku telah melihat kondisi geografi dan sosiologi wilayah tinggal mereka untuk memetakan peluang usaha seperti apa yang bisa dijalani dan memberikan keuntungan ekonomi dengan mudah.
“Kita sudah bisa mapping, oh wilayah ini cocok untuk menanam sayuran, untuk padi, dan jagung. Tinggal kita realisasikan dan bagaimana melakukan komunikasi dengan pemerintah daerahnya,” ujar Mensos Risma.
Kasus ini tidak hanya menimpa eks-PMI di NTT saja, namun juga terjadi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan jumlah korban sebanyak 18 orang. Mensos Risma menemukan bahwa mereka selain termakan janji, juga terbujuk memberikan uang deposit sehingga terlilit utang.
Para PMI di DIY mengalami gangguan psikologis seperti depresi berat dan kecemasan karena selama 4 bulan terkatung-katung dan berpindah-pindah dibawa pelaku.
Kemensos dalam hal ini melakukan upaya pendampingan eks-PMI mulai dari penguatan psikologis dengan bimbingan konseling dan layanan kesehatan. Mensos Risma juga berdialog langsung kepada eks-PMI di DIY untuk memberikan motivasi dan semangat membangun usaha kembali.
Selain itu, melalui Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Yogyakarta juga memberikan sarana relaksasi berupa pembuatan kandang hewan peliharaan gecko, juga membuat tas anyaman dari plastik. Diharapkan semua kegiatan vokasional tersebut bisa menjadi usaha mereka setelah dapat kembali ke keluarganya.
Baca juga: Artikel - Perjalanan Yohana Banunaek mencari keadilan untuk Adelina Lisao
Presiden RI Joko Widodo menegaskan pemerintahan mengerahkan segenap unsur negara seperti Polri, TNI, dan aparat pemerintah yang lain untuk menangani hal tersebut. Sebab, faktanya menurut laporan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), jenazah warga Indonesia yang kembali karena TPPO dalam satu tahun mencapai lebih dari 1.900 orang.
Permasalahan TPPO saat ini juga menjadi perhatian serius dari negara-negara ASEAN. Indonesia diminta mengambil posisi kepemimpinan untuk memberantas tindak perdagangan orang yang dianggap mengganggu kehidupan bernegara, sebab merupakan kejahatan lintas negara dan sangat rapi kerjanya.
Baca juga: Artikel - Gugurnya pahlawan devisa dari NTT
Upaya-upaya yang dilakukan Kementerian Sosial mulai dari penguatan psikologis hingga memberikan pelatihan dan bantuan kewirausahaan bagi eks-PMI korban TPPO.
Upaya tersebut membuktikan negara hadir dan bergerak cepat menangani permasalahan tersebut.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Memulihkan pekerja migran korban TPPO lewat pemberdayaan sosial
Susah payah bekerja di Ipoh, Perak, Malaysia selama 4 tahun, Wahyu, begitu ia disapa, ditelantarkan begitu saja bersama 50 PMI lainnya di sebuah hutan belantara kawasan Sungai Pasir Kapas, Dumai, Riau, oleh calo yang mempekerjakannya.
Perempuan 45 tahun itu mengaku bahwa ia mengikuti jalur yang salah dengan bekerja tanpa dokumen legal sebagai PMI. Sebab itulah, tidak ada pihak yang bertanggung jawab penuh atas kepulangan mereka.
Masih jelas dalam ingatannya, di tengah hutan Wahyu dan para PMI tersebut ditempatkan di sebuah gubuk yang sangat berbahaya karena tanpa ada makanan, minuman, bahkan keperluan untuk bertahan. Padahal di antara para pekerja tersebut ada yang membawa bayi, anak-anak, maupun sedang mengandung.
Pada akhirnya mereka berjalan kaki keluar dari hutan tersebut sejak dini hari hingga berhasil menemukan sebuah warung kecil untuk membeli makanan dan minuman.
Beruntung di warung tersebut, para PMI tersebut berjumpa dengan aparat penegak hukum yang langsung memberikan bantuan perlindungan hingga pulang dengan selamat.
Kejadian tersebut membuat Wahyu berpikir ulang untuk kembali kerja di luar negeri dan ikut dengan calo tenaga kerja ilegal. Ia sendiri mengakui baru kali pertama bekerja seperti itu.
“Saya tidak mau kembali lagi, takut dan trauma dibohongi. Kalau kami sampai mati, bagaimana?” ujar Wahyu.
Oleh karenanya, Wahyu ingin kembali menjadi ibu rumah tangga dan berkumpul bersama suami dan kedua anaknya. Sehari-harinya, ia memang hanya menjadi ibu rumah tangga yang membantu suaminya berladang pisang dan jagung.
Oleh karena itu, saat mendapat kesempatan bertemu dengan Menteri Sosial Tri Rismaharini di Sentra Efata Kupang, Nusa Tenggara Timur, Rabu (12/7), Wahyu menyampaikan keinginannya untuk membuka kios sembako di depan rumahnya.
Tidak hanya Wahyu, 21 eks-PMI asal NTT lainnya juga menyampaikan keinginannya untuk berternak babi, kambing, menanam sayuran, hingga membuka bengkel dan menjahit. Keinginan tersebut langsung diproses oleh Mensos Risma.
“Terima kasih kepada Bu Risma atas bantuan yang akan diberikan. Saya dengan kejadian seperti ini tidak akan kembali lagi ke luar negeri dan berusaha di sini saja,” ujar Wahyu.
Korban TPPO yang dihadirkan berjumlah 22 orang, tujuh orang di antaranya dipulangkan dari kasus yang terjadi di Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
Tujuh orang tersebut terdiri atas tiga orang dari Kabupaten Malaka, satu dari Kabupaten Timor Tengah Utara, dua orang dari Kabupaten Belu dan dan satu orang dari Ende. Adapun 15 orang lainnya adalah korban dari kasus lain yang berasal dari Timor Tengah Utara.
Kementerian Sosial (Kemensos) dalam penanganan korban TPPO bekerja sama dengan pihak terkait seperti aparat penegak hukum hingga pemerintah daerah menyelenggarakan program pemberdayaan ekonomi para eks-PMI yang terjebak dalam tindak pidana tersebut.
Adapun Mensos Risma mengupayakan pemberdayaan ekonomi dengan menjadikan para eks PMI sebagai wirausaha, agar mereka tidak kembali diiming-imingi pekerjaan secara ilegal di luar negeri.
Mensos Risma sebelum membuat program pemberdayaan untuk eks-PMI di NTT, mengaku telah melihat kondisi geografi dan sosiologi wilayah tinggal mereka untuk memetakan peluang usaha seperti apa yang bisa dijalani dan memberikan keuntungan ekonomi dengan mudah.
“Kita sudah bisa mapping, oh wilayah ini cocok untuk menanam sayuran, untuk padi, dan jagung. Tinggal kita realisasikan dan bagaimana melakukan komunikasi dengan pemerintah daerahnya,” ujar Mensos Risma.
Kasus ini tidak hanya menimpa eks-PMI di NTT saja, namun juga terjadi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan jumlah korban sebanyak 18 orang. Mensos Risma menemukan bahwa mereka selain termakan janji, juga terbujuk memberikan uang deposit sehingga terlilit utang.
Para PMI di DIY mengalami gangguan psikologis seperti depresi berat dan kecemasan karena selama 4 bulan terkatung-katung dan berpindah-pindah dibawa pelaku.
Kemensos dalam hal ini melakukan upaya pendampingan eks-PMI mulai dari penguatan psikologis dengan bimbingan konseling dan layanan kesehatan. Mensos Risma juga berdialog langsung kepada eks-PMI di DIY untuk memberikan motivasi dan semangat membangun usaha kembali.
Selain itu, melalui Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Yogyakarta juga memberikan sarana relaksasi berupa pembuatan kandang hewan peliharaan gecko, juga membuat tas anyaman dari plastik. Diharapkan semua kegiatan vokasional tersebut bisa menjadi usaha mereka setelah dapat kembali ke keluarganya.
Baca juga: Artikel - Perjalanan Yohana Banunaek mencari keadilan untuk Adelina Lisao
Presiden RI Joko Widodo menegaskan pemerintahan mengerahkan segenap unsur negara seperti Polri, TNI, dan aparat pemerintah yang lain untuk menangani hal tersebut. Sebab, faktanya menurut laporan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), jenazah warga Indonesia yang kembali karena TPPO dalam satu tahun mencapai lebih dari 1.900 orang.
Permasalahan TPPO saat ini juga menjadi perhatian serius dari negara-negara ASEAN. Indonesia diminta mengambil posisi kepemimpinan untuk memberantas tindak perdagangan orang yang dianggap mengganggu kehidupan bernegara, sebab merupakan kejahatan lintas negara dan sangat rapi kerjanya.
Baca juga: Artikel - Gugurnya pahlawan devisa dari NTT
Upaya-upaya yang dilakukan Kementerian Sosial mulai dari penguatan psikologis hingga memberikan pelatihan dan bantuan kewirausahaan bagi eks-PMI korban TPPO.
Upaya tersebut membuktikan negara hadir dan bergerak cepat menangani permasalahan tersebut.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Memulihkan pekerja migran korban TPPO lewat pemberdayaan sosial