Artikel - Ukraina dan perang menegaskan identitas nasional

id Konflik Rusia Ukraina,Perang Ukraina,Rusia,Ukraina,Artikel perang Oleh Jafar M Sidik

Artikel - Ukraina dan perang menegaskan identitas nasional

Monumen Taras Shevchenko di Kiev, Ukraina, pada 31 Juli 2022. Taras Shevchenko adalah pemikir dan sastrawan Ukraina abad ke-19 yang dianggap sebagai tokoh kebangkitan bangsa Ukraina. (Volodymyr Vlasenko via Wikimedia Commons)

Bagi Ukraina sendiri, deportasi paksa anak-anak bangsanya adalah bagian dari upaya menghilangkan akar Ukraina sejak dini...
Sebaliknya, sentimen rusofobia (anti Rusia) menjadi mengencang.

Indeks Persepsi Demokrasi yang dirilis Juni 2022 sendiri menunjukkan Ukraina adalah satu dari dua negara Eropa yang persepsi negatifnya terhadap Rusia sangat besar, mencapai 80 persen. Angka itu hanya di bawah Polandia yang menjadi negara Eropa dengan persepsi negatif terhadap Rusia yang paling tinggi, 87 persen.

Rusia sendiri mengeluhkan keadaan sentimen rusofobia ini.

Rusia menilai sentimen itu yang membuat Ukraina menghapus identitas dan akar warga etnis Rusia di Ukraina, khususnya Donbas di Ukraina timur, salah satunya dengan tidak mengajarkan bahasa Rusia di sekolah-sekolah Ukraina.

Uniknya, menurut riset Jolanta Darczewska dan Piotr Zochowski dari Centre for Eastern Studies pada 2015, rusofobia justru menjadi alat Rusia untuk menegaskan identitas politik imperialisme gaya baru kepada penduduknya, sehingga terus menganggap Rusia merasa dibenci bangsa lain, yang kemudian menjadi justifikasi untuk menyerang bangsa lain seperti sedang dialami Ukraina sekarang.

Sentimen itu makin menjadi-jadi karena munculnya peristiwa-peristiwa, seperti deportasi paksa 6 ribu anak Ukraina, yang oleh PBB sendiri digolongkan sebagai kejahatan perang. PBB, bahkan memerintahkan penyelidikan kejahatan perang yang berujung kepada keluarnya surat perintah penangkapan Vladimir Putin oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Negara-negara yang meratifikasi ICC tentu terikat oleh keputusan ICC, termasuk Afrika Selatan yang harus merelakan KTT BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) di Johannesburg, akhir Agustus nanti, tidak dihadiri Putin, gara-gara adanya surat perintah penangkapan dari ICC itu.

Bagi Ukraina sendiri, deportasi paksa anak-anak bangsanya adalah bagian dari upaya menghilangkan akar Ukraina sejak dini.

Situasi ini membuat antipati terhadap Rusia semakin besar, yang kemudian diperparah oleh dugaan kejahatan perang di Bucha dan beberapa kota Ukraina, yang membuat masyarakat Ukraina merasa Rusia sudah tak memiliki itikad memanusiakan Ukraina.

"Itu yang membuat orang Ukraina dari segala lapisan kini menolak berunding dengan Rusia," kata sastrawan Ukraina, Ostap Slyvynsky, seperti dikutip New Yorker.

Bukan itu saja, rakyat Ukraina juga menjadi keras menentang pemberian konsesi wilayah dalam setiap prakarsa damai. Survei KIIS pada September 2022 menunjukkan 87 persen rakyat Ukraina menolak konsesi wilayah kepada Rusia.

Baca juga: Artikel - Konflik Myanmar dan tawaran solusi damai ASEAN

Karena perang sudah tak lagi dipandang sebagai semata tentang wilayah, melainkan juga sebagai perjuangan untuk survivalitas, eksistensi, dan jati diri bangsa, maka kompromi untuk solusi damai menjadi lebih sulit dilakukan.

Baca juga: Artikel - Anatomi konflik Sudan

Semoga KTT Ukraina di Jeddah, Arab Saudi, yang akan berlangsung selama satu pekan, mulai Sabtu 5 Agustus, bisa membuka ruang kompromi untuk mengakhiri perang itu, walau Rusia tak diundang dalam KTT tersebut.




 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ukraina dan perang menegaskan identitas nasional