YBLL sebut 10 kabupaten di NTT berpotensi pengembangan Agroekologi

id Bambu, yayasan bambu,bambu ntt,Elizabeth Widjaja

YBLL sebut 10 kabupaten di NTT berpotensi  pengembangan Agroekologi

Dua orang Mama Bambu sedang menyirami bibit bambu yang disemai di tempat pesemaian Bambu di kabupaten Ngada. ANTARA/Ho-Humas YBLL

Jadi total area berpotensi untuk pengembangan Argoekologi di NTT itu luasnya mencapai 4.000 hektare
Kupang (ANTARA) - Yayasan Bambu Lingkungan Lestari (YBLL) menyebutkan bahwa terdapat 10 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur berpotensi untuk dikembangkan Agroekologi bambu.

“Jadi total area berpotensi untuk pengembangan Argoekologi di NTT itu luasnya mencapai 4.000 hektare,” kata Head of Program YBLL Nurul Firmansyah di Kupang, Senin.

Agroekologi adalah bagian dari pertanian berkelanjutan yang menggambarkan hubungan alam, ilmu sosial, ekologi, masyarakat, ekonomi, dan lingkungan yang sehat. Agroekologi diterapkan berdasarkan pada pengetahuan lokal dan pengalaman dalam pemenuhan kebutuhan pangan lokal.

Dia mengatakan bahwa 10 kabupaten yang berpotensi itu tersebar di pulau Flores, Pulau Alor, Pulau Sumba dan pulau Timor. Terbanyak adalah di pulau Flores terdiri dari Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai Timur, Nagekeo, Ende, Sikka, Kabupaten Ngada dan Kabupaten Manggarai.

Untuk pulau Alor terdapat di kabupaten Alor, pulau Timor dikembangkan di kabupaten Timor Tengah utara dan di pulau Sumba, adalah di kabupaten Sumba Timur.

“Setiap kabupaten luas lahan untuk pengembangan Agroekologi bambu mencapai 400 hektare,” ujar dia.

Dia menambahkan bahwa 4.000 hektare itu adalah lahan kering yang kritis yang sulit dikembangkan untuk pertanian, sehingga YBLL kemudian berinisiatif untuk mencari dan mengembangkan hal tersebut.

NTT sendiri juga dinilai pas untuk pengembangan Argoekologi karena sejak tahun 2020-2022 YBLL bersama dengan pemerintah Provinsi dan kabupaten telah mengembangkan agroekologi bambu di NTT. Hasilnya 532 mama bambu di 28 desa dan tujuh kabupaten telah terbentuk. Sehingga YBLL sendiri telah berhasil menyemai 2,9 juta bibit bambu.

Kemudian dari jumlah tersebut, sebanyak 1,9 juta bibit kemudian digunakan untuk merehabilitasi lahan kritis seluas 1.500 hektare yang melibatkan semua pihak, mulai dari pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, gereja, Muhammadyah, Organisasi pemuda, mahasiswa serta komunitas masyarakat adat.

“Aksi rehabilitasi lahan kritis ini menciptakan potensi penyimpanan karbon sebesar 41 ribu ton C,” tambah Nurul lagi.

Ahli Taksonomi Elizabeth Anita Widjaja mengatakan bahwa pemerintah Indonesia menargetkan penurunan deforestasi sebesar 55 persen dalam periode 2021 hingga 2030.

“Serta berkomitmen mencapai National Determined Contribution (NDC) pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen melalui rehabilitasi lahan kritis seluas 12 juta hektare pada 2030,” ujar dia.