Pengamat: Jalur Migrasi Paus Biru Diduga Tercemar

id paus biru

Kupang (Antara NTT) - Pengamat Biokimia Gizi dan Psychic dari Universitas Nusa Cendana Kupang Ir Felix Rebhung Ph.D menduga kuat matinya puluhan ekor ikan paus biru di Pulau Sabu, NTT, Senin (1/10), akibat jalur migrasi mamalia laut itu tercemar.

"Memang, butuh sebuah penelitian ilmiah untuk mengetahui secara persis penyebab kematian 44 ekor paus biru tersebut. Tetapi, dugaan saya, jalur migrasi mamalia laut itu sudah mengalami perubahan sebagai akibat pencemaran ataupun pemanasan global," katanya di Kupang, Rabu, soal fenomena matinya puluhan paus biru tersebut.

Sebanyak 44 ekor paus biru dilaporkan terdampar di Pantai Liae, Pulau Sabu, Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, Senin (1/10), dan kemudian mati karena kehabisan oksigen.

Kabar tentang kematian puluhan ekor paus biru itu baru diketahui Selasa (2/10), setelah Bupati Sabu Raijua Marthen Dira Tome menerima laporan dari masyarakat soal terdamparnya puluhan ekor paus biru di Pantai Liae.

Felix Rehbung yang juga dosen pada Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang itu, mengatakan unsur oksigen yang terdapat dalam tubuh paus biru (Balaenoptera musculus) atau jenis ikan paus lainnya hanya mampu bertahan antara 5-7 jam setelah terdampar.

"Jika tidak, upaya penyelamatan yang dilakukan setelah lima jam maka paus-paus tersebut akan mati. Sensor tubuh ikan paus sangat sensitif, sehingga mudah mati jika sudah berada di luar habitatnya," katanya, menjelaskan.

Perairan Laut Sawu di Provinsi NTT yang telah ditetapkan Pemerintah Indonesia sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional, merupakan jalur migrasi 14 jenis paus, termasuk di antaranya paus jenis langka seperti paus biru dan paus sperma.

Wilayah perairan Laut Sawu dikelilingi oleh rangkaian kepulauan dan corak bawah laut yang dramatis, dan terletak di jantung bentang laut Paparan Sunda Kecil di bagian selatan Segitiga Karang Dunia dan menyokong beragam habitat karang dan pelagis paling produktif.

Letak wilayah perairan tersebut di persimpangan Samudera Pasifik dan Hindia, sehingga menjadikannya sebagai koridor migrasi utama 14 janis paus. Wilayah perairan ini juga mengalami fenomena oseanografi yang dinamis, termasuk di antaranya arus laut Indonesia yang terkenal kuat.

Kombinasi arus yang kuat dan tebing laut curang menyebabkan pengaduan arus dingin yang mungkin merupakan faktor utama pemicu ketangguhan terhadap ancaman terbesar akan peningkatan suhu permukaan laut terkait perubahan iklim.

Perairan Laut Sawu sejak 2009 ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) dengan luas 4,9 juta hektare. Karena itu, jika dapat secara efektif dilindungi, maka Laut Sawu dapat menjadi tempat perlindungan bagi kehidupan laut dan sumber daya perikanan yang produktif di antara perubahan iklim global.

Wilayah perairan Laut Sawu sejak meledaknya sumur minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009, sudah tercemar yang mengakibatkan usaha budi daya rumput laut yang dilakukan petani nelayan di Pulau Sabu, gagal total, termasuk pulau-pulau dalam wilayah Perairan Laut Sawu.

"Saya menduga, matinya puluhan ekor paus biru tersebut akibat wilayah perairan Laut Sawu yang menjadi jalur migrasi utama mamalia laut itu dari utara ke selatan mengalami perubahan akibat pencemaran ataupun karena pemanasan global," ujar Felix Rehbung.

Ia menambahkan untuk membuktikan kebenaran kasus tersebut, sebaiknya dilakukan sebuah penelitian ilmiah, karena matinya mamalia laut dalam jumlah besar itu merupakan yang pertama kali terjadi di NTT.

Sementara itu, pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni yang dihubungi secara terpisah mengatakan penelitian ilmiah seperti yang disarankan tersebut adalah sebuah keharusan, karena wilayah perairan Laut Sawu yang menjadi jalur utama migrasi mamalia laut sudah tercemar sejak meledaknya sumur minyak Montara di Laut Timor pada 21 Agustus 2009.

"Kita harus belajar dari kasus tumpahan minyak di Teluk Alaska dari kapal tangker Exxon Valdes pada 1989. Setelah 3-5 lima tahun sejak kasus pencemaran itu terjadi, kondisi lingkungan laut serta alam sekitarnya, justru jauh lebih buruk dari awal kejadian. Ini sama dengan kasus Montara," tuturnya.

Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) itu menambahkan upaya restorasi terhadap wilayah pencemaran di Alaska terus dilakukan, namun baru sekitar 40-50 persen kondisi lingkungan laut sekitarnya pulih.

"Tragedi Alaska sudah berlangsung hampir 23 tahun, namun kondisi lingkungannya masih tetap saja buruk. Kasus matinya puluhan mamalia laut itu, hendaknya menjadi perhatian pemerintah, karena bukan merupakan sebuah peristiwa biasa," ujar mantan agen Imigrasi Kedutaan Besar Australia itu.