Jakarta (ANTARA) - Transisi energi menjadi suatu keharusan bagi seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia yang telah meratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement) sejak tahun 2016.
Perjanjian tersebut mengharuskan suatu negara berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon dari segala lini pembangunan ekonominya, mulai dari industri hingga transportasi.
Komitmen tersebut dikukuhkan Indonesia melalui penetapan Enhanced-Nationally Determined Contribution (E-NDC) untuk menurunkan emisi karbon dioksida (CO2) sebanyak 912 juta ton C02 pada tahun 2030, serta mewujudkan karbon bersih atau net zero emissions (NZE) pada tahun 2060.
Upaya itu dilakukan Indonesia dengan menggantikan energi fosil yang menjadi penyebab efek gas rumah kaca dengan menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT), yakni energi surya, angin atau bayu, panas bumi (geothermal), biofuel, serta hidro.
Ibu pertiwi tercatat memiliki potensi pengembangan elektrifikasi dari EBT yang besar, yakni 3.687 gigawatt, dengan rincian energi surya sekitar 2.898 gigawatt, energi angin 589 gigawatt, energi hidro 94,6 gigawatt, panas bumi 23,4 gigawatt, serta biofuel 50 gigawatt.
Indonesia juga tercatat memiliki cadangan sumber daya mineral yang melimpah. Seperti nikel yang dimiliki mencapai 72 juta ton atau 52 persen dari total cadangan nikel dunia.
Bauksit, dengan total potensi eksplorasi sebanyak 1.200 juta ton yang menjadikan Indonesia pemilik cadangan bauksit nomor 6 terbesar di dunia.
Selanjutnya kandungan batu bara sebesar 134,24 miliar ton yang mampu memenuhi kebutuhan domestik hingga 500 tahun ke depan, dengan asumsi penggunaan 250 juta ton per tahun.
Cadangan mineral yang melimpah itu membuat kontribusi terhadap perekonomian Indonesia tidak main-main. Pada tahun 2023 sektor mineral dan batu bara memberikan kontribusi sebesar Rp2.198 triliun terhadap produk domestik bruto (PDB) atau 10,5 persen dari total PDB yang mencapai Rp20.892 triliun.
Namun di sisi lain, sektor pertambangan mineral dan batu bara juga menjadi penyumbang emisi karbon yang cukup besar, dengan persentase secara global mencapai 4-7 persen emisi gas rumah kaca.
Menyadari hal tersebut, Indonesia memiliki strategi untuk menyiasati antara pemajuan ekonomi dan transisi energi, agar kontribusi perekonomian dari sektor pertambangan tetap tinggi, serta visi karbon bersih tahun 2060 bisa terwujud.