Kupang (Antara NTT) - Pengamat hukum internasional dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr DW Thadeus mengatakan komitmen pemerintah pusat untuk memberantas praktik "ilegal fishing" itu harus didukung oleh sarana kapal patroli yang memadai di suatu pangkalan.
"Keterbatasan fasilitas kapal patroli menjadi persaoalan yang paling pertama dalam mengamankan wilayah perairan laut kita dari berbagai pelanggaran," katanya saat ditemui Antara di Kupang, Senin.
Dikatakannya hal itu menyikapi langkah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang mengajak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Uni Eropa dalam ajang World Ocean Conference (WOC) pada 24 Februari 2017 lalu, untuk mempertegas komitmen terhadap pengelolaan perikanan berkelanjutan.
Menteri Susi meminta PBB dan Uni Eropa untuk ikut mengawal pelaksanaan aturan pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal "ilegal fishing" yang diterapkan Indonesia dengan konsekuensi yang tegas.
Dosen Fakultas Hukum Undana itu pun mengapreasia upaya Menteri Susi tersebut demi menjaga keutuhan wilayah perairan Indonesia sebagai bagian dari kedaulatan negara yang harus dihargai negara lain.
"Kalau soal mengajak negara lain untuk memberantas "ilegal fishing" bersama-sama itu terkait diplomasi politik dan tergantung juga komitmen bersama terutama dengan negara ASEAN yang selama ini menjadi penadah bagi hasil laut Indonesia untuk saling menghargai wilayah hukum laut," katanya.
Menurut Thadeus, upaya pemberantasan "ilegal fishing" itu secara ke dalam atau di Indonesia harus didukung dengan kesiapan kapal-kapal patroli yang memadai untuk melakukan operasi pengamanan wilayah perairan perbatasan.
Dia mencontohkan, pengamanan wilayah perairan di Nusa Tenggara Timur yang belum memadai karena keterbatasan kapal pengawas, padahal berbatasan wilayah laut secara langsung dengan negara Timor Leste dan Australia dengan luas wilayah mencapai 200.000 km2.
Menurutnya, kasus pelanggaran "ilegal fishing" oleh negara lain di NTT belum bergitu tampak melainkan yang sering muncul terkait penyelundupan.
"Kalau dengan Timor Leste lebih banyak persoalan yang muncul itu seperti penyelundupan barang, sementara dengan Asutralia itu biasnya terkait penyelundupan imigran gelap dari Timur Tengah," katanya.
Menurutnya, hal itu disebabkan terbatasnya fasilitas kapal-kapal laut yang disiagakan untuk beroperasi secara rutin terutama di wilayah perbatasan negara.
Dia mengatakan, pengamanan wilayah laut masih mengandalkan bantuan kapal dari TNI Angkatan Laut yang bekerja sama dengan Angkatan Udara untuk melakukan pendeteksian namun belum maskimal.
"Kalau pelanggaran itu terjadi di wilayah batas negara ketika dilaporkan maka kapal yang baru dikerahkan dari Kupang jelas tidak efektif karena oknum yang melanggar pasti sudah berlari menghindar," katanya.
Untuk itu, katanya, pemberantasan "ilegal fishing" maupun pelanggaraan di wilayah perairan di NTT maupun Indonesia sebagai negara kepulauan harus didukung dengan fasilitas kapal yang memadai di semua daerah.
"Ilegal Fishing" Perlu Dukungan Kapal Patroli
"Keterbatasan fasilitas kapal patroli menjadi persaoalan yang paling pertama dalam mengamankan wilayah perairan laut kita dari berbagai pelanggaran," kata DW Thadeus.