Jakarta (ANTARA) - Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah mengatakan bahwa munculnya desa fiktif terkait penyaluran Dana Desa tidak boleh dianggap sebelah mata, sehingga persoalan ini harus dituntaskan, karena dana desa itu berasal uang pajak rakyat yang disetor ke APBN.
“Saya mengapresiasi langkah Kementerian Keuangan yang segera melakukan koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), serta Kepolisian, untuk menelusuri 'desa siluman' dan jumlah Dana Desa yang sudah mengalir ke desa-desa,” kata Said lewat keterangannya di Jakarta, Selasa (12/11).
Said menyampaikan, pemerintah perlu segera mengambil langkah-langkah preventif dan penindakan.
Politisi senior PDIP ini menjelaskan lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, tidak bisa dilepaskan dari keinginan negara untuk memperkuat peran dan fungsi desa dalam mata rantai pembangunan.
Tujuannya antara lain meningkatkan pelayanan publik di desa, mengentaskan kemiskinan, memajukan perekonomian desa, mengatasi kesenjangan pembangunan antar desa, serta memperkuat masyarakat desa sebagai subjek dari pembangunan.
Baca juga: 129 desa belum laporkan penggunaan dana desa
Hal ini menggambarkan adanya keinginan kuat untuk mempercepat pembangunan ekonomi, tidak hanya pembangunan fisik tetapi juga pemberdayaan masyarakat desa, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
“Dana Desa ini dianggarkan setiap tahun dalam APBN yang diberikan kepada setiap desa sebagai salah satu sumber pendapatan desa,” ujarnya.
Kebijakan ini, terang Said, sekaligus mengintegrasikan dan mengoptimalkan seluruh skema pengalokasian anggaran dari Pemerintah kepada desa yang selama ini sudah ada.
“Oleh sebab itu, perlu ada regulasi yang memperjelas fungsi dan kewenangan desa yang pada ujungnya melahirkan kebijakan penataan dan pengaturan mengenai Desa,” terangnya.
Lebih lanjut, Ketua DPP PDI P Bidang Perekonomian ini mengatakan terdapat beberapa langkah yang bisa digunakan untuk meminimalisir penyelewengan Dana Desa.
Pertama, memperkuat pengawasan yang dilakukan aparat pemerintahan di atasnya, mulai dari kecamatan, kabupaten, provinsi hingga pusat.
Baca juga: Bupati se-NTT diminta percepat penerbitan Perbup dana desa
Kedua, memperkuat database mengenai pengelolaan Dana Desa yang bisa digunakan untuk monitoring keberadaan Dana Desa. Ketiga, meningkatkan partisipasi publik dalam mengawasi pengelolaan Dana Desa.
“Dan Keempat, memberikan reward dan punishment dari pemerintah terhadap pengelolaan dana desa dalam bentuk Dana Insentif Desa,” ucapnya.
Selain itu, peran dan fungsi DPR dalam mengawasi pelaksanaan Dana Desa perlu lebih dioptimalkan. Pengawasan yang dilakukan DPR bisa lebih efektif, mengingat tugas dan kewenangan DPR yang bisa menelusuri penggunaan dana APBN dalam seluruh sektor.
“Ke depan DPR harus lebih proaktif dalam mengawasi penggunaan Dana Desa, sehingga bisa mengantisipasi penyelewengan Dana Desa lebih dini, mengingat persetujuan alokasi Dana Desa dilakukan oleh DPR bersama pemerintah dalam Transfer Daerah dan Dana Desa (TKDD),” pungkasnya.
Program Dana Desa yang dilakukan sejak 2015, sudah menjangkau 74.954 Desa di seluruh Indonesia, terus meningkat dari tahun ke tahun.
Pada 2015 alokasi Dana Desa dianggarkan sebesar Rp 20,8 triliun, kemudian pada tahun 2016 meningkat menjadi Rp 46,9 triliun, pada 2017 dan 2018 meningkat menjadi Rp 60 triliun, pada 2019 untuk 74.597 desa. Tahun depan, alokasi naik menjadi Rp72 triliun.
Baca juga: 632 jembatan di NTT dibangun dengan dana desa
Baca juga: Dana Desa siap digunakan bangun 30.260 unit rumah di NTT
Kemunculan desa fiktif jangan dianggap sebelah mata
Munculnya desa fiktif terkait penyaluran Dana Desa tidak boleh dianggap sebelah mata, sehingga persoalan ini harus dituntaskan, karena dana desa itu berasal uang pajak rakyat yang disetor ke APBN.