"Hari ini kita jalani jalan salib dengan menggali kedalaman makna keimanan, sesuai dengan perkembangan kehidupan pada zamannya," kata Wakil Pastor Paroki Gereja St Yoseph Pekerja Penfui Kota Kupang, RD Yonas Kamlasi di Kupang, Jumat.
Ketika memimpin prosesi doa jalan salib yang diikuti ratusan umat di Kapela St Fransiskus Xaverius Naimata, dia mengatakan pada 2.000 tahun lalu, orang Yahudi memandang salib sebagai tanda penghinaan, kebodohan sebagai bentuk perendahan martabat manusia.
"Setelah peristiwa penyaliban Yesus, salib dipandang sebagai tanda kemenangan kuasa Allah atas kuasa maut. Lebih-lebih dengan kebangkitan Kristus, menunjukkan kuasa Allah yang sungguh-sungguh melampaui akal dan pikiran manusia," katanya.
Penyaliban Yesus kemudian menjadi peristiwa refleksi iman para pengikut-Nya hingga saat ini melalui berbagai pesan aktual zaman terkait dengan tugas perutusan membebaskan manusia dari dosa dan mengembalikan relasi manusia dengan Allah Bapa.
"Maut telah dikalahkan, kehidupan baru didapatkan. Perspektif inilah yang tumbuh subur, teristimewa di kalangan orang-orang kristiani," katanya.
Sebelum sampai pada prosesi jalan salib ini, ribuan umat di wilayah itu mengikuti perayaan Kamis Putih yang dikenang umat Kristiani sedunia sebagai perjamuan malam terakhir antara Yesus Kristus dengan 12 orang murid-Nya sebelum menghadapi sakrat maut.
Prosesi selanjutnya adalah "Adorasi" atau pemindahan Sakramen Maha Kudus dan diikuti dengan doa bergelir umat dari pukul 21.00 hingga Jumat pagi pukul 06.00 WITA dilanjutkan dengan lamentasi dan jalan salib bersama.
Sementara itu, umat Kristen di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada Kamis, 13 April 2017 tengah malam hingga subuh, mengikuti prosesi jalan salib mengenang kisah sengsara Yesus Kristus sampai akhirnya wafat di kayu salib.
Pada sore harinya, umat Katolik juga melaksanakan upacara cium salib Kristus yang merupakan sebuah tindakan untuk memusatkan perhatian pada salib sebagai sumber kebahagiaan.