Peneliti : Tidak semua orang pendek itu menderita kekerdilan

id Stunting

Peneliti : Tidak semua orang pendek itu menderita kekerdilan

Seorang peneliti dari IDAI Cabang Jawa Timur Prof Dr. IDG Ugrasena sedang menjelaskan tentang hasil penelitiannya seputar kasus stunting yang ditemukan di NTT, di Kupang, Selasa (11/2/2020). (ANTARA FOTO/Kornelis Kaha).

"Jadi saya mau tegaskan di sini bahwa tidak semua orang yang terlihat pendek itu karena menderita stunting, meski orang yang menderita stunting itu umumnya bertubuh pendek," kata Dr dr Simplicia Maria Anggrahini..
Kupang (ANTARA) - Para peneliti masalah stunting atau kekerdilan dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) NTT dan Jawa Timur menegaskan bahwa tidak semua orang pendek itu menderita kekerdilan atau stunting.

"Jadi saya mau tegaskan di sini bahwa tidak semua orang yang terlihat pendek itu karena menderita stunting, meski orang yang menderita stunting itu umumnya bertubuh pendek," kata Koordinator peneliti IDAI Cabang NTT Dr dr Simplicia Maria Anggrahini kepada wartawan di Kupang, Selasa (11/2).

Hal ini disampaikan usai mengelar pemaparan ilmiah soal hasil riset 25 dokter peneliti dari NTT dan Jawa Timur yang selama dua tahun melakukan riset seputar stunting di provinsi berbasis kepulauan itu bekerja sama dengan PT. Kalbe Nutritionals.

Menurut dia banyak orang-orang hebat di Indonesia terlihat pendek tetapi mereka justru pintar dan menjadi orang hebat di negara ini, seperti salah satu di antaranya adalah almarhum Prof Dr Ir BJ Habibie.

"Penyebab seseorang itu mengalami stunting karena berbagai hal yang menyebabkannya, dan salah satu di antaranya adalah masalah nutrisi yang diterima  saat masih berusia balita," ujar dia.
Wakil Presiden Ma'ruf Amin (kanan) menyaksikan Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Bambang Widianto (tengah) bersama Wakil Rektor Universitas Hasanuddin Nasrum Massi (kiri) melakukan penandatanganan MoU kemitraan antara Pemerintah dengan swasta di Kantor TNP2K, Jakarta, Selasa (11/2/2020). Program kerjasama tersebut untuk mempercepat pencegahan stunting di Indonesia. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/HP)
Selain nutrisi masalah lain adalah sanitasi yang tak baik, kemudian juga kesehatan ibu saat si ibu sedang hamil serta pemberian nutrisi yang kurang saat si anak berada pada usia 1-2 tahun.

Ketua IDAI Cabang Nusa Tenggara Timur Dr. Fransiskus Taolin yang juga masuk dalam kelompok penelitian soal stunting di NTT mengatakan bahwa pencegahan kasus stunting itu harus bisa dilakukan oleh seorang ibu di usia anak di bawah dua tahun.

"Alasannya karena setelah dua tahun kita tidak bisa memperbaiki lagi tumbuh kembang anak khususnya otaknya. Sebab otak tumbuh paling pesat itu saat anak berada di usia satu hingga dua tahun," ujar dia.

Sebenarnya di usia tiga sampai dengan enam tahun tumbuh kembang anak masih bisa diperbaiki, namun lanjut dr. Taolin pertumbuhan anak itu tak seperti yang terjadi pada usai satu hingga dua tahun.

Oleh karena itu pihaknya mengajurkan kepada ibu-ibu hamil di Indonesai, khususnya NTT untuk selalu rajin memeriksakan kandungannya selama bayi itu berada dalam kandungan untuk mengecek kesehatan janin.

Tak hanya itu usai anak lahir tetap juga mengecek anak di tempat-tempat posyandu guna mengecek berat badan anak, tinggi dan lingkar kepala anak agar jika terdapat gejala stunting bisa diperbaiki.
Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi (kedua kiri) berpose dengan Direktur Manajer Kalbe Nutritionals Yuni Herawati (kanan) Ketua IDAI NTT Dr. Frans Taolin (kiri) dan Ketua IDAI Jawa Timur Dr. Sjamsul Arief di Kupang, Selasa (11/2). (ANTARA FOTO/Kornelis Kaha)