BPJS Kesehatan surplus Rp18,7 triliun pada 2020

id bpjs kesehatan,jkn-kis

BPJS Kesehatan surplus Rp18,7 triliun pada 2020

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris. (ANTARA/HO-BPJS Kesehatan)

Tentu untuk prediksi kondisi DJS Kesehatan ke depan, terlebih di masa pandemi Covid-19, kita akan terus pantau
Jakarta (ANTARA) - Arus kas Dana Jaminan Sosial Kesehatan yang dikelola oleh BPJS Kesehatan untuk pembiayaan Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) pada tahun 2020 surplus Rp18,7 triliun tanpa meninggalkan tunggakan pembiayaan klaim rumah sakit yang gagal bayar.

"Laporan keuangan unaudited Dana Jaminan Sosial Kesehatan surplus Rp18,7 triliun, tagihan rumah sakit juga sudah dibayarkan semua. Ini karena pemerintah sangat mendukung, sehingga tidak terjadi gagal bayar yang menjadi dampak," kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris dalam konferensi pers daring yang dipantau di Jakarta, Senin, (8/2).

Hal ini karena pemerintah selalu berupaya memastikan kecukupan dana program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat.

BPJS Kesehatan hanya menyisakan pembayaran klaim rumah sakit pada akhir tahun 2020 sebesar Rp1,19 triliun yang masih dalam proses verifikasi di tahun 2021. Sementara klaim pembiayaan program JKN-KIS kepada rumah sakit yang gagal bayar sama sekali tidak ada.

Hal ini menunjukkan arus kas Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan yang sangat sehat dibandingkan pada tahun 2019 di mana BPJS Kesehatan mengalami gagal bayar klaim rumah sakit sebesar Rp15,5 triliun, dan gagal bayar klaim sebesar Rp9,16 triliun pada 2018.

“Kondisi keuangan DJS Kesehatan yang berangsur sehat ini ditunjukkan dengan kemampuan BPJS Kesehatan dalam membayar seluruh tagihan pelayanan kesehatan secara tepat waktu kepada seluruh fasilitas kesehatan, termasuk juga penyelesaian pembayaran atas tagihan tahun 2019," kata Fachmi.

Data unaudited mencatat setelah dilakukan pembayaran kepada seluruh fasilitas kesehatan, posisi per 31 Desember 2020, DJS Kesehatan memiliki saldo kas dan setara kas sebesar Rp18,7 triliun. Selain itu dengan tata kelola yang andal, Program JKN-KIS diharapkan pada tahun 2021 mulai dapat membentuk dana cadangan teknis untuk memenuhi persyaratan tingkat kesehatan keuangan DJS Kesehatan sesuai regulasi.

Fachmi menyebutkan surplusnya DJS Kesehatan yang dikelola oleh BPJS Kesehatan bukan bersumber dari menurunnya tingkat pemanfaatan Program JKN-KIS oleh masyarakat semasa pandemi COVID-19.

Dia mengatakan faktor penyesuaian iuran, pembiayaan iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), efisiensi dalam pengelolaan program, dan juga peningkatan tingkat kolektabilitas iuran di masyarakat berkontribusi membuat kondisi surplus.

Pada tahun 2020, BPJS Kesehatan berhasil melakukan efisiensi sebesar Rp1,3 triliun dari pembayaran klaim pelayanan kesehatan rujukan yang dikembalikan kepada lembaga lantaran proses verifikasi klaim yang tak sesuai dengan ketentuan.

Sementara jika ditotal sejak 2016 hingga 2020, BPJS Kesehatan berhasil mengefisiensikan anggaran sebesar Rp20,78 triliun dari tagihan yang dikembalikan karena tidak sesuai aturan.

“Tentu untuk prediksi kondisi DJS Kesehatan ke depan, terlebih di masa pandemi Covid-19, kita akan terus pantau. Dengan memperhatikan tingkat kesehatan masyarakat serta melihat kondisi ekonomi Indonesia," ucap Fachmi.

Namun, kondisi arus kas (cashflow) DJS Kesehatan yang berangsur sehat ini menjadi hal yang positif untuk keberlangsungan Program JKN-KIS ke depan. Tongkat estafet ini diharapkan dapat meringankan laju Direksi BPJS Kesehatan di masa mendatang.

Baca juga: BPJS kesehatan pastikan tidak ada pendobelan data peserta JKN

Arus kas DJS Kesehatan yang cukup ini, kata Fachmi, tentu juga akan berimbas pada peningkatan kualitas layanan. BPJS Kesehatan dan pemangku kepentingan terus melakukan monitoring atas pemberian layanan kepada peserta.

Baca juga: Kesal RSJ Naimata belum dilayani BPJS Kesehatan, Wagub NTT: Rabu kalau tidak ada kami setop

Fasilitas kesehatan diharapkan konsisten memberikan layanan yang berkualitas dan tidak melakukan tindakan penyimpangan yang berdampak pada pembiayaan program jaminan kesehatan menjadi tidak efektif dan efisien.