Kupang (Antara NTT) - Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Dr Arif Budimanta mengatakan Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR-BPRS) mengalami tantangan serius di era digital saat ini.
"BPR-BPRS di Indonesia berjumlah cukup banyak, namun lembaga keuangan tersebut masih mengalami masalah tata kelola dalam era digital saat ini," katanya dalam seminar nasional Peluang dan Tantangan Industri BPR-BPRS Sebagai Pilar Ekonomi Daerah di Era Transformasi Bisnis Digital yang digelar Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) di Kupang, Selasa.
Budimanta mengatakan hasil analisis KEIN menunjukkan bahwa masing-masing pertumbuhan ekonomi setiap provinsi di Indonesia, berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan kredit BPR.
Ia menjelaskan setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi daerah berpotensi meningkat menjadi 1,2 persen, dan pertumbuhan kredit BPR setiap 1 persen berpotensi meningkatkan 0,01 persen terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Tantangan lain BPR/BPRS dalam era digital saat ini yaitu Kemampuan BPR/BPRS dalam melakukan penetrasi pasar belum cukup kuat, pengembangan dan pemanfaatan teknologi yang belum optimal.
Selain itu, manajemen perusahaan dan sumber daya manusia yang terbatas, tata kelola perusahaan yang belum optimal, permodalan yang terbatas, tidak ada pembatasan jumlah kredit bank umum di daerah.
BPR/BPRS juga belum kuat dalam melakukan penetrasi pasar, mendapatkan tantangan baru dari perusahaan pembiayaan seiring dengan dikeluarkannya POJK No.5 tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Perusahaan Pembiayaan yang membolehkan perusahaan pembiayaan masuk sektor multiguna.
Dari sejumlah masalah yang menghambat itu, kata Budimanta, BPR/BPRS memiliki potensi untuk terus tumbuh, namun perlu diwaspadai adanya potensi tergerusnya pangsa pasar BPR/BPRS oleh perusahaan pembiayaan.
Sebab, menurut dia, lebih dari separuh masyarakat Indonesia telah terhubung dengan jaringan Mobile Netizens, sehingga di masa mendatang, BPR/BPRS akan mengalami tantangan yang lebih berat dengan hadirnya layanan jasa keuangan yang berbasis teknologi informasi.
Sejak April - Agustus 2017, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan surat pengumuman yang memberikan izin bagi 17 perusahaan Fintech untuk melakukan layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi. Dan, hingga posisi September 2017 terdapat 127 Fintech yang terdaftar di Asosiasi Fintech Indonesia.
"Saya optimistis karena industri BPR telah melayani masyarakat Indonesia selama 29 tahun dan masih tetap tumbuh, eksis serta menjadi mitra strategis pelaku UMKM sampai saat ini," katanya menegaskan.
Menurut dia BPR-BPRS merupakan industri yang tangguh dalam menghadapi gelombang apapun, industri BPR sejak berdiri dan bermuncullan pada tahun 1988 (sebagai respon kebijakan pakto 88), telah menghadapi pasang surut dari kehidupan industri keuangan di negeri ini.
Bahkan, katanya, kinerja indutri BPR sampai dengan bulan Juli 2017 masih sangat baik dengan aset industri BPR mencapai Rp118 triliun atau tumbuh 10,77 persen dibandingkan posisi tahun lalu. Sementara kredit yang disalurkan mencapai Rp87 triliun atau tumbuh 10,13 persen.
Fungsi intermediasi juga dapat dengan jalankan dengan baik. Hal ini terlihat dari tabungan yang tumbuh sebesar 13,33 persen dan deposito tumbuh sebesar 10,30 persen dibanding setahun yang lalu. Selain itu, katanya hal yang menggembirakan jumlah nasabah yang dilayani mencapai 14,5 juta rekening.
"Nasabah tersebut didominasi oleh penabung sebanyak 10,5 juta rekening dan rata-rata jumlah tabungannya sebesar Rp2 juta," katanya.
Sedangkan nasabah debitur sebanyak 3,2 juta rekening dan rata-rata pinjamannya Rp27 juta. Hal ini tentunya mencerminkan industri BPR-BPRS memang hahdir untuk melayani masyrakat kecil dan pelaku UMKM diseluruh wilayah Indonesia.
Digitalisasi telah melakukan revolusi keseluruh sendi kehidupan kita bersama, apapun kebutuhannya, semuannya bisa terlayani dalam satu genggaman, sehingga memudahkan kebutuhan dan aktivitas masyarakat.
Bagi perbankan, digitalisasi bukanlah sebuah pilihan tetapi keharusan dan kewajiban. Karena nasabah mengharapkan adanya kecepatan, kemudahan, fleksibilitas, kenyamanan dan tersedia layanan 7x24 jam.
Untuk itu, beberapa perbankan di Indonesia mengkampanyekan bahkan menginvestasikan untuk melakukan transformasi untuk menjadi layanan digital.
Industri BPR-BPRS diseluruh Indonesia memiliki semagnat yang sama, untuk mengubah anggapan klasik bahwa BPR-BPRS adalah industri yang kaku karena terbentur sistem serta regulasi yang ketat. Transformasi digital dianggap sebagai cara baru berbisnis karena potensinya untuk menghemat biaya.
Transformasi ini juga bukan hanya mendigitalisasi produk yang sudah ada,tapi mengubah pola pikir dan solusi menjadi digital sesuai prilaku dan kebutuhan masyrakat.
Rakernas dan Seminar Nasional Perbarindo 2017 yang dibuka Gubernur NTT Frans Lebu Raya ini dihadiri pengurus DPD dan DPK Perbarindo serta para anggota yang berasal dari seluruh wilayah Indonesia.
Rakernas sekali sangat istimewa bagi Perbarindo dan Industri BPR-BPRS yang ada di Indonesia, karena ditandatangani kerja sama dengan berbagai pihak untuk memperkuat dan meningkatkan daya saing dari industri BPR-BPRS.