42 Persen Bayi di NTT Dalam Acaman Difteri

id Difetri

42 Persen Bayi di NTT Dalam Acaman Difteri

Seorang anak tengah menangis saat menerima imunisasi

Bakteri Corynebacterium Diphteriae sebagai penyebab Defteri mengancam sekitar 42 persen lebih dari total 97.654 bayi di Nusa Tenggara Timur karena tidak menerima imunisasi secara lengkap.
Kupang (Antara NTT) - Praktisi kesehatan anak Indonesia Ermi Ndoen, Ph.D, SKM, M.Kes mengatakan bakteri Corynebacterium Diphteriae sebagai penyebab Defteri mengancam sekitar 42 persen lebih dari total 97.654 bayi di Nusa Tenggara Timur karena tidak menerima imunisasi secara lengkap.

"Data Dinas Kesehatan Provinsi NTT menunjukkan cakupan imunisasi di daerah berbasis kepulaan itu, secara nasional tidak terlalu menggembirakan sebab bayi dengan imunisasi lengkap di NTT tahun 2016 baru mencapai angka 68 persen," kata Ermi di Kupang, Sabtu.

Ermi yang mewakili Unicef (Badan PBB Urusan Kesehatan Anak) di bidang kesehatan ini menjelaskan dari total 97.654 bayi yang sudah menerima imunisasi, masih tercatat 42.043 bayi di antaranya yang tidak menerima imunisasi secara lengkap.

"Cakupan imunisasi DPT-HB-Hib III (dosis ketiga) baru mendekati angka 70 persen dari target 90 persen. Bahkan kabupaten dengan angka imunisasi DPT-HB-Hib III tertinggi adalah Kota Kupang (108 persen), namun sebagian besar kabupaten angkanya di bawah rata-rata provinsi," ujarnya.

Kabupaten Alor cakupan imunisasinya baru mencapai 27 persen, Nagekeo (42 persen), Rote Ndao (47 persen), Lembata (55 persen), Sabu (58 persen); Sumba BArat Daya (58 persen) Ende (61 persen), Kabupaten Kupang (61 persen).

Sementara, Kabupaten Timor Tengah Selatan cakupan imunisasinya baru mencapai 62 persen, Sumba Barat dan Timur (64 persen), Ngada dan Sumba Tengah (66 persen), Sikka (79 persen), sedang Manggarai Raya, Belu dan Timor Tengah Utara antara (80-90 persen).

"Jika di daerah lain rendahnya cakupan imunisasi karena adanya gerakan anti vaksin dan isu yang berhubungan dengan agama tertentu, di NTT, masalah akses dan partisipasi masyarakat masih menjadi kendala utama," katanya.

Dari beberapa hasil analis kondisi imunisasi di NTT (Riskesda, 2013) faktor yang berhubungan dengan rendahnya cakupan imunisasi di NTT, misalnya, letak posyandu yang jangkauannya kurang dari 30 menit jalan kaki ke rumah penduduk sudah mencapai 93 persen, namun masyarakat yang mengetahui letak posyandu hanya 42 persen.

Jumlah bidan desa di Nusa Tenggara Timur sudah mencapai sekitar 75.3 persen, namun bidan desa yang tinggal di desa hanya 61 persen. Angka drop out yang menyebabkan anak tidak memiliki imunisasi yang lengkap juga tinggi. Misalnya saja di kabupaten Alor yang mencapai 63 persen atau 2.630 dari 5.725 anak DO imunisasi.

Kabupaten lain yang DO tinggi yaitu Nagekeo dan Malaka (25 persen); Rote (20 persen), Sumba Barat Daya (15 persen, Sumba Barat, Timor Tengah Selatan dan Sabu (10 -15 persen), serta Kabupaten Kupang (8.75 persen).

Ketersediaan listrik juga sangat menunjang keberhasilan program imunisasi. Fasilitas penyimpan vaksin sudah tersedia di hampir semua sarana pelayanan kesehatan; namun dari 384 sarana fasilitas yang ada fasilitas pengelolaan vaksin, masih sekitar 30 persen memiliki masalah dengan ketersediaan listrik.

"Melihat beberapa data di atas,; kita masih banyak pekerjaan rumah untuk memperbaiki kinerja program imunisasi. Kita harus ingat bahwa kejadian difteri disebabkan oleh rendahnya cakupan imunisasi dan 66 persen kasus yang ditemukan adalah mereka yang belum pernah diimunisasi," kata Ermi.

"Kita harus ingat membawa anak untuk diimunisasi adalah bentuk tanggung jawab dan kasih sayang orangtua terhadap anaknya dan juga melindungi orang lain dari penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi termasuk difteri," demikian Ermi Ndoen.