Refleksi akhir tahun 2021: Sebuah catatan dari Rumah Kebangsaan

id Amandemen UUD 1945, COVID-19, pemilu 2024,artikel

Refleksi akhir tahun 2021: Sebuah catatan dari Rumah Kebangsaan

Wakil Ketua MPR RI, Jazilul Fawaid. ANTARA/HO-Humas MPR

...Di tengah pembahasan dan pengkajian yang dilakukan, muncul isu baru bahwa amandemen juga akan membahas mengenai perubahan periode presidensi, dari dua periode menjadi tiga periode. Isu ini memantik resistensi luas dari publik
Jakarta (ANTARA) - Ada banyak sekali peristiwa politik, hukum, dan keamanan sepanjang 2021 yang layak untuk dicermati secara saksama, baik sebagai pembelajaran (lesson learned) maupun sebagai kompas dalam mengarungi tahun 2022 mendatang. Ada banyak peristiwa positif sebagai gambaran kesigapan dan ketangkasan pemerintah dalam mewujudkan kehadiran negara (state presence) bagi pemenuhan kebutuhan rakyat.

Namun, ada juga hal-hal yang sifatnya challenging yang menjadi ujian bagi ketahanan nasional Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara.

Refleksi politik

Aspek politik merupakan salah satu aspek yang cukup dominan untuk disorot sepanjang 2021. Ada banyak isu-isu yang cukup menyita perhatian publik seperti wacana amandemen konstitusi yang kelima terkait pokok-pokok haluan negara, penilaian mengenai terjadinya resesi demokrasi di Indonesia oleh lembaga internasional sebagai konsekuensi penanganan pandemi Covid-19, hingga memanasnya suhu politik nasional karena mayoritas partai politik yang mulai mengambil langkah-langkah pemanasan (political warming-up) dan konsolidasi menuju gelaran Pemilu 2024.

Konstitusi Indonesia, yakni UUD 1945, sejatinya merupakan konstitusi yang sifatnya terbuka. Frasa “terbuka” di sini bersifat esensial, karena konstitusi harus mampu menangkap dinamika dan perubahan yang terjadi dalam penyelenggaraan politik dan pemerintahan, termasuk dinamika yang terjadi di masyarakat (warga negara). Dorongan untuk melakukan amandemen terbatas terhadap konstitusi merupakan amanat dari MPR RI periode sebelumnya yang coba hendak dituntaskan pada periode sekarang.

Adapun basis argumentasinya adalah pokok-pokok haluan negara sangat dibutuhkan demi kelangsungan dan keajegan pembangunan nasional, tidak terpengaruh sama sekali oleh kandidasi politik elektoral selama lima tahunan.

Wacana amandemen ini tentu saja tidak bisa diselesaikan secara parsial dan dari satu pihak saja. MPR RI sebagai rumah kebangsaan menyadari betul tugas dan tanggung jawabnya dalam menegakkan kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, dilakukan pengkajian secara mendalam untuk menyerap aspirasi dan keinginan masyarakat, memastikan bahwa ini bukan wacana elit, melainkan semata-mata bagi kelancaran pembangunan nasional ke depan secara jangka panjang.

Di tengah pembahasan dan pengkajian yang dilakukan, muncul isu baru bahwa amandemen juga akan membahas mengenai perubahan periode presidensi, dari dua periode menjadi tiga periode. Isu ini memantik resistensi luas dari publik. MPR RI sekali lagi menegaskan komitmennya untuk konsisten membahas hanya pada persoalan PPHN saja, tidak eksesif pada isu-isu lainnya.

Isu lainnya adalah mengenai adanya resesi demokrasi yang berlangsung di Indonesia sebagai konsekuensi dari penanganan pandemi Covid-19 oleh pemerintah. Isu ini penting untuk saya ulas sebagai representasi dari isu-isu demokrasi lainnya sepanjang 2021. Penilaian ini hadir dari the Economist Intelligence Unit (EIU) yang menilai bahwa demokrasi Indonesia pada tahun pertama pandemi adalah yang terburuk sepanjang satu dekade terakhir.

Kontributor utama menurunnya indeks demokrasi yang dimiliki oleh Indonesia adalah pada aspek kebebasan sipil dan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan. Terkait hal ini, respons yang diberikan oleh pemerintah patut diapresiasi. Pemerintah tidak bersikap reaktif apalagi resisten, melainkan menjadikan penilaian tersebut sebagai bahan masukan bagi perbaikan kualitas demokrasi ke depan.

Upaya penanganan pandemi Covid-19, tidak dimungkiri menimbulkan dilema dalam teknis operasionalnya. Penerapan PSBB hingga PPKM, protokol kesehatan secara ketat, hingga vaksinasi massal, pada dasarnya bertujuan untuk melindungi warga negara secara komprehensif. Upaya persisten aparat terkadang memang menimbulkan benturan kepentingan dengan masyarakat, semisal bagi mereka yang terhalangi kebebasannya untuk mencari nafkah, beribadah, dan berkegiatan secara sosial lainnya, atau merasa memiliki hak untuk menolak vaksinasi.

Kebijakan pemerintah tidak bisa memuaskan seluruh kepentingan masyarakat karena memang bukan di situ urgensi sebuah kebijakan. Urgensinya adalah bagaimana kebijakan tersebut mampu memenuhi kebutuhan publik, hajat publik secara luas, yakni kesehatan dan keamanan bersama.

Penanganan pandemi sepanjang 2021 sekilas terlihat membelenggu demokrasi, namun tidak sepenuhnya benar. Informasi di media sosial dan media daring begitu banyak yang disinformatif dan misinformatif. Informasi yang sifatnya distraktif sedemikian perlu disikapi secara tegas oleh pemerintah dengan mengambil kebijakan satu data dan satu akses.

Oleh sebab itu, pemerintah menyediakan satu portal informasi mengenai dinamika Covid-19 di Indonesia, baik jumlah kasus positif dan rinciannya, serta kebijakan-kebijakan mitigatif dan kuratif yang ditempuh. Hal ini tentu saja tidak bisa dipandang membelenggu kebebasan.

Pada kasus lain, pemerintah melalui Polri bersikap cerdas dalam merespons tudingan membelenggu kebebasan sipil. Banyaknya mural bernada protes terhadap kebijakan pemerintah, pada awalnya direspons secara keras oleh kepolisian, namun pada akhirnya disikapi dengan menggelar lomba mural secara terbuka kepada masyarakat agar kritik dan saran yang diberikan bisa diatensi secara langsung oleh pemerintah.

Isu politik lainnya yang patut dicermati adalah langkah pemanasan yang dilakukan oleh partai-partai politik dalam menyongsong pesta demokrasi 2024 mendatang. Meskipun masih akan berlangsung sekitar dua tahun sekian bulan mendatang, magnitudo politik yang ditimbulkan oleh hajatan demokrasi tersebut sudah sangat terasa di 2021. Partai-partai politik mulai menyodorkan kader terbaiknya sebagai calon presiden.

Baca juga: Catatan Akhir Tahun - Korban KKB mulai dari warga sipil hingga jenderal

Lembaga-lembaga survei juga tidak ketinggalan dalam menghangatkan suhu politik dengan merilis nama-nama potensial untuk 2024 mendatang. Kelompok masyarakat sipil juga turut berpartisipasi dengan menyuarakan pentingnya perubahan pada UU Pemilu, terutama terkait dengan ambang batas pencalonan presiden dan pentingnya kontestasi dengan lebih dari dua pasang calon untuk menghindari polarisasi dan segregasi di masyarakat seperti yang terjadi pada dua Pilpres sebelumnya.

Berbagai isu dan dinamika politik elektoral sepanjang 2021 tersebut merupakan cerminan dari demokratisasi yang berlangsung progresif. Masing-masing struktur politik, baik suprastruktur maupun infrastruktur bergerak dan berputar sesuai dengan fungsi masing-masing dalam berdemokrasi. Partai politik sungguh memafhumi bahwa mereka adalah mesin politik utama di era pasca reformasi.

Baca juga: Artikel - Babak baru industri telekomunikasi Indonesia

Oleh sebab itu, fungsi sebagai sarana seleksi dan kandidasi politik perlu dilakukan secara matang dengan memanaskan mesin politik sejak 2021 agar mampu menyuguhkan calon- calon terbaik untuk dipilih rakyat. Birokrasi Pemilu seperti KPU, Bawaslu, dan DKPP, juga berbenah sejak dini agar hambatan-hambatan yang muncul pada Pemilu sebelumnya tidak terulang dan dapat ditangani secara efektif dan efisien pada 2024 mendatang. Yang perlu digarisbawahi oleh semua pihak yang terlibat adalah urgensi untuk menjaga persatuan dan kesatuan, serta meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.

Refleksi hukum dan keamanan
Aspek hukum adalah aspek lainnya yang menarik untuk dicermati sepanjang 2021, terutama terkait dengan penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah. Penegakan hukum sendiri merupakan bagian dari pembangunan hukum yang merupakan komponen integral dalam pembangunan nasional.

Polri sebagai pranata umum sipil yang berlaku sebagai penjaga ketertiban dan keamanan di seluruh wilayah NKRI secara konsisten terus-menerus melakukan penguatan sistem pengawasan internal demi memperkuat kelembagaan Polri, sehingga Polri dapat terus memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat dalam hal terciptanya keamanan dan ketertiban.

Kejaksaan Agung juga berkontribusi besar dalam penguatan penegakan hukum sepanjang 2021 dengan memburu kasus-kasus besar yang menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi negara. Penguatan penegakan hukum juga terjadi di ranah legislasi, seperti pembahasan rancangan revisi KUHAP yang tidak hanya melibatkan pemerintah dan parlemen, tapi juga masyarakat sipil untuk memberikan masukan agar dihasilkan legislasi yang komprehensif.

Berbeda dengan aspek hukum, aspek keamanan sepanjang 2021 merupakan hal yang perlu diatensi lebih oleh pemerintah karena berpotensi menimbulkan instabilitas di 2022. Situasi keamanan di Papua belum bisa dikatakan stabil m

Baca juga: Artikel - Kerangka hukum Pemilu 2024 tak jauh beda dengan aturan Pemilu 2019

u memitigasi segala potensi ancaman yang ada. Sepanjang 2021, jumlah teroris yang ditangkap lebih dari 370 orang per 24 Desember 2021, lebih banyak dibandingkan jumlah pada 2020 sebanyak 232 orang. Ancaman dan tantangan keamanan pada 2022 diprediksi akan lebih kompleks mengingat konstelasi politik nasional akan meningkat suhunya. Oleh sebab itu, aparat keamanan tidak boleh lengah sedikitpun dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.

*) Dr. H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A., Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024