Jakarta (ANTARA) - Kedelai sampai saat ini merupakan salah satu bahan pangan yang masih mengalami defisit di Indonesia selain sejumlah komoditas lain seperti daging sapi, bawang putih, dan gula pasir.
Untuk mencukupi kebutuhan masyarakat atas bahan-bahan pangan tersebut, solusi yang ditempuh adalah dengan impor, sebab para petani dan peternak di dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.
Setelah sukses dengan swasembada beras 2019-2021, Indonesia memang sedang kembali berjuang keras untuk dapat mewujudkan swasembada bahan pangan lain, salah satunya adalah swasembada kedelai.
Dengan demikian, wajar jika hal ini mendapat perhatian khusus dari Presiden Jokowi. Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi sengaja melakukan pembahasan serius dengan para pembantunya, guna menggebyarkan lagi pengembangan kedelai menuju swasembada.
Mendukung apa yang menjadi kemauan politik Pemerintah tersebut pada 5 Oktober 2022, acara ProPatani yang sejatinya merupakan ajang bimbingan teknis bagi petani, secara khusus mengambil tema "Memboomingkan Kedelai Lokal di Jawa Barat".
Hadir dalam acara tersebut para narasumber yang kompeten di bidangnya, baik dari kalangan pemerintah tingkat kabupaten, pengusaha yang berkiprah di komoditas kedelai, aktivis organisasi petani, hingga petani kedelai.
Langkah ini sangat strategis, karena upaya mengembangkan kedelai lokal merupakan salah satu solusi untuk mengurangi ketergantungan bangsa ini terhadap impor.
Sekiranya apa yang ditengarai FAO tentang kemungkinan terjadi krisis pangan global setelah pandemi COVID-19 berakhir, maka fakta kehidupan ini yang perlu dihadapi.
Sebagai bangsa yang sangat doyan tahu dan tempe, kedelai tentu memiliki karisma tersendiri dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Kedelai, walau tidak disebut sebagai komoditas politis dan strategis sebagaimana halnya beras, namun dari sisi kebutuhan masyarakat, kedelai memiliki daya tarik tersendiri.
Itu sebabnya, ketersediaan dan keberadaan kedelai harus dapat terjamin dan mendapat jaminan dari Pemerintah.
Semangat untuk meraih swasembada kedelai agar bangsa ini tidak tergantung kedelai impor, memang sudah direncanakan, bahkan dilaksanakan sejak lama.
Berbagai penelitian juga digarap oleh para peneliti dan pemulia tanaman kedelai di Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian Kementerian. Mereka berjuang keras untuk dapat memproduksi kedelai seperti yang dilakukan oleh para petani kedelai di Amerika Serikat.
Kendati demikian, hingga kini apa yang diharapkan dan diinginkan itu belum terwujud. Lalu, apakah betul para petani di negeri ini lebih tertarik untuk menanam padi atau jagung ketimbang kedelai yang harga jualnya tidak menjanjikan bagi pendapatan mereka?
Iklim Subtropis
Anggapan bahwa tanaman kedelai hanya cocok di tanam di negara-negara subtropis, sering kali dijadikan alasan atas kegagalan pencapaian swasembada kedelai.
Kedelai merupakan komoditas yang tumbuh dengan baik di negara subtropis. Di negara tropis seperti Indonesia, kedelai tumbuh sewajarnya dan hasilnya tidak besar-besar seperti kedelai Amerika.
Di sinilah letak persoalannya. Para perajin tahu dan tempe menyukai kedelai yang bijinya besar-besar. Mereka tidak begitu suka pada kedelai yang bijinya kecil seperti yang dihasilkan di dalam negeri.
Pada kondisi semacam ini, timbul pertanyaan apakah tidak ada teknologi pangan yang mampu menyelesaikan masalah iklim dalam budidaya kedelai ini? Lalu, bagaimana dengan hasil-hasil penelitian yang selama ini khusus memilih kedelai sebagai obyek penelitiannya?
Apakah dulu Badan Litbang Pertanian sebelum bergabung ke BRIN sudah memiliki kesimpulan, mengapa produksi kedelai di dalam negeri kecil-kecil sehingga kurang diminati oleh perajin tahu dan tempe?
Segudang pertanyaan semacam itu, rupanya penting untuk dijawab. Semua pihak tidak boleh membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu menumpuk menjadi persoalan yang tidak tertuntaskan.
Soal ketidakmampuan bangsa ini memproduksi kedelai dengan biji besar, jelas harus diakui bersama. Biji kedelai petani lokal hasilnya memang kecil-kecil.
Kedelai yang kecil-kecil ini rupanya kurang diminati oleh perajin tahu dan tempe. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan kedelai impor dari Amerika. Beberapa kalangan menyebut, hal ini dikarenakan kedelai sangat ditentukan oleh kondisi iklim dimana tanaman itu tumbuh.
Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, naiknya harga kedelai impor membuat produsen tahu dan tempe menghentikan produksinya. Sejumlah lapak tahu dan tempe di berbagai pasar berhenti berjualan dan tampak kosong karena tidak ada pengiriman dari produsennya. Masyarakat pencinta tahu dan tempe pun banyak yang kecewa, karena tidak bisa lagi menikmati makanan kesukaannya.
Para produsen tahu dan tempe berjanji, mogok memproduksi tahu dan tempe ini hanya akan dilakukan beberapa hari saja. Paling lama tiga hari.
Salah satu alasan mereka melakukan mogok produksi, karena kecewa dengan kondisi yang ada saat ini. Menurut mereka, mestinya Pemerintah mampu mengantisipasi suasana yang bakal terjadi, sekaligus juga merumuskan solusinya secara bersama-sama.
Deteksi dini
Pemerintah sudah saatnya menghentikan peran sebagai "pemadam kebakaran", namun sepantasnya bila Pemerintah pun mulai menerapkan pendekatan "deteksi dini".
Naiknya harga kedelai impor bukanlah baru yang pertama terjadi. Bangsa ini sudah mengalaminya berkali-kali.
Baca juga: Opini - Pesan moral dari pertemuan para menteri pertanian G20 di Bali
Sebagai bangsa yang mengandalkan kedelai impor untuk kebutuhan produsen tahu dan tempe, sudah semestinya semua pun mengantisipasi bila suatu saat negeri ini kesulitan memperolehnya.
Rendahnya produksi kedelai di negara ini, salah satunya disebabkan oleh produktivitas yang masih rendah, selain luas panen yang apa adanya.
Produktivitas kedelai kuintal/hektare pada tahun 2014 terekam sebesar 15,5, kemudian melorot jadi 14,44 pada tahun 2018. Luas panen terlihat seperti jalan di tempat. Pada tahun 2014 tercatat 615.685 hektare, sedangkan pada tahun 2018 tercatat sebesar 680.373 hektare.
Baca juga: Opini - Jalan keluar dari jebakan pangan melalui gandum dan sorgun
Disodorkan pada fenomena yang semacam ini, tentu semua pihak mestinya tidak bisa lagi berdiam diri menyaksikan apa yang tengah terjadi.
Kedelai, suka atau tidak, kini telah tampil menjadi kebutuhan sebagian besar warga bangsa yang hidup di negeri ini. Kedelai setelah diolah menjadi tahu dan tempe, merupakan santapan utama sekaligus kebanggaan golongan ekonomi menengah hingga ke bawah.
Bagi mereka, kalau makan tanpa tahu atau tempe ibarat sayur tanpa garam. Semua ini terjadi karena daya beli mereka yang rendah. Kalau saja mereka punya daya beli, pasti mereka pun ingin merasakan bagaimana lezatnya masakan Jepang atau Korea yang dipatok harganya 200 ribu rupiah per orang.
Sayang sekali mereka tidak memiliki kemampuan untuk itu. Mereka sudah cukup senang, bila Pemerintah menjaga keberadaan tahu dan tempe dalam kehidupan kesehariannya.
Bila sampai sekarang bangsa ini belum mampu memproduksi kedelai seperti kedelai dari Amerika dengan produksi yang cukup tinggi, sebaiknya mulai dipikirkan bagaimana solusinya agar proses produksi perajin tahu dan tempe menjadi tidak terganggu dan tetap berjalan lancar, dikarenakan ada sesuatu hal yang tidak terpikirkan dengan cerdas.
Baca juga: Opini - Hari tani dan kebangkitan petani milenial
Adanya gambaran yang demikian, agribisnis kedelai benar-benar merupakan peluang yang sangat baik untuk dilakukan.
Potensi pasar yang terbuka, membuat budi daya kedelai memiliki prospek yang menggembirakan. Tinggal sekarang, bagaimana sentuhan dan kekuatan teknologi mampu memberi perubahan terhadap usaha tani kedelai yang masih terkendala oleh banyak faktor.
Seluruh elemen masyarakat saatnya diajak menuju suasana baru dalam membangun agribisnis kedelai yang semakin berkualitas.
Tingkatkan produksi dan produktivitas. Carilah benih yang bersertifikat. Perkuat Penyuluhan kedelai kepada para petani. Sebab, semangat menanam kedelai pasti membawa berkah bagi kehidupan.
*) Entang Sastraatmadja; Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Strategi menggairahkan budi daya kedelai lokal