Kupang (AntaraNews NTT) - Dari balik jeruji besi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Marianus Sae (56), Calon Gubernur Nusa Tenggara Timur periode 2018-2023, masih sempat menulis sepucuk surat cinta untuk Emilia Nomleni.

Emilia Nomleni, Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) itu disandingkan induk organisasinya untuk mendampingi Bupati Ngada periode 2000 s.d. 2015 dan 2016 s.d. 2021 sebagai calon wakil gubernur dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur 2018.

Sehari menjelang KPU Provinsi NTT melakukan rapat pleno untuk penetapan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur untuk periode 5 tahun ke depan, pria kelahiran Bosiko 8 Mei 1962 itu berhasil dijaring KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) di sebuah hotel, Kota Surabaya, Jawa Timur.

KPK menjaringnya atas tuduhan menerima suap sebesar Rp4,1 miliar dari seorang pengusaha yang merupakan "fee" setelah mengerjakan berbagai proyek pembangunan dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Ngada selama ini.

Emilia Nomleni, perempuan kelahiran Kupang, 19 September 1966, merasa bagai disambar petir di siang bolong. Namun, perempuan berambut perak itu tetap menyatakan kesetiaannya kepada Marianus Sae meski harus berjalan sendiri sampai di garis akhir perjuangan.

PDI Perjuangan dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) langsung mencabut dukungannya kepada Marianus Sae. Namun, tidak bisa menggantinya sebagai calon gubernur karena tidak ada regulasi yang mengatur tentang pergantian tersebut.

Dari titik inilah, Marianus merasa menjadi kuat untuk tetap berjuang dari balik jeruji besi KPK sebagai calon gubernur meski tidak berjalan bersama pasangannya Emilia dalam panggung kampanye pilkada.

Dari balik jeruji besi KPK, Marianus pun menulis sepucuk surat cinta yang bernada perjuangan kepada Emilia. "Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, tetapi marilah dengan semangat yang tinggi, berjuang sehati sesuara bersama Marianus/Emi untuk membangun NTT yang kita cintai ini."

"Emi bersama rakyat NTT berjuang dan berjuaglan adikku, kamu pasti bisa," demikianlah sepenggal surat cinta "perjuangan" yang ditulis tangan oleh Marianus dari balik jeruji besi KPK.

Surat tulisan tangan Marianus bertinta hitam di atas sepucuk kertas itu beredar luas di media sosial, baik itu melalui akun Line to day, Facebook, WhatsApp, maupun Instagram.

Semangat perjuangan Marianus Sae tampaknya belum habis meski telah mengenakan rompi oranye KPK sebagai tersangka. Dorongan politik kepada adiknya Emilia terus dia lakukan seperti yang tertulis dalam sepucuk surat cinta perjuangan itu.

Apakah Marianus Sae sudah lama menjadi target OTT KPK ataukah ada pecundang politik yang bermain di belakang layar untuk mempermalukannya bersama partai pengusungnya, PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri?

Tidak ada satu orang pun bisa menebaknya. Sistem penyergapan yang dilakukan KPK bukan hanya disasaran utama, tetapi juga berkelana sampai ke Bajawa, Ibu Kota Kabupaten Ngada di Pulau Flores dan Kupang dalam waktu yang bersamaan untuk menangkap jariangannya.

Marianus Sae ditangkap KPK bersama Ambrosia Tirta Shanti, Ketua Tim Psikolog Calon Gubernur NTT di sebuah hotel di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (11-2-2018) sekitar pukul 10.00 WIB atau sehari menjelang penetapan calon gubernur oleh KPU, Senin (12-2-2018).

Marianus dan Ambrosia langsung digiring ke Gedung KPK RI, Jakarta, untuk penyidikan lebih lanjut. Pada hari yang sama, KPK juga menangkap tiga orang lainnya pada tempat dan waktu yang berbeda, yakni ajudan Marianus, pengusaha Wilhelmus Iwan Ulumbu, dan seorang karyawan Bank BNI di Bajawa.

Marianus Sae ditangkap atas dugaaan menerima suap sebesar Rp4,1 miliar dari direktur PT Sinar 99 Permai (S99P), Wilhelmus Iwan Ulumbu karena telah menjanjikan pengusaha tersebut sejumlah proyek senilai Rp54 miliar di Kabupaten Ngada pada tahun anggaran 2018.

"Setelah dilakukan pemeriksaan 1 x 24 jam dan gelar perkara pagi tadi disimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi, yaitu pemberian hadiah atau janji kepada Bupati Marianus terkait dengan proyek di Kabupaten Ngada, NTT," kata Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan.

Dalam kasus ini, Wilhelmus Iwan Ulumbu disangka telah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara itu, Marianus disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001.

Namun, penetapan Marianus Sae sebagai tersangka tidak otomatis menggugurkan statusnya sebagai Calon Gubernur NTT yang telah ditetapkan oleh KPU bersama pasangannya Emilia Nomleni sebagai Calon Wakil Gubernur NTT untuk bertempur bersama tiga pasangan calon lainnya pada Pilgub NTT 2018.

Tiga pasangan calon itu masing-masing pasangan Esthon L. Foenay/Christian Rotok, Benny K. Harman/Benny A. Litelnoni, dan pasangan Viktor Bungtilu Laiskodat/Josep Nae Soi.

Ganggu Komitmen Pemilih
Secara aturan dan regulasi yang ada pada KPU, Marianus Sae memang tetap menjadi Calon Gubernur NTT. Namun, pandangan para pemilih terhadap dirinya menjadi terbelah meski Emilia tetap memandangnya sebagai abang dan calon gubernur.

Profesor Dr. Aloysius Liliweri, M.S. menilai kasus dugaan suap yang menimpa Marianus Sae ini sangat mengganggu komitmen dukungan masyarakat pemilih yang menaruh simpati terhadapnya dalam ajang Pilgub NTT 2018.

"Kekecewaan publik terhadap Marianus Sae itu pasti ada sehingga tidak menutup kemungkinan dukungan tersebut beralih kepada pasangan calon lainnya," kata Prof. Alo Liliweri dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang itu.

Dalam pandangan Prof. Alo, masyarakat atau simpatisan Marianus Sae pasti dikecewakan akibat adanya kasus tersebut karena sebelumnya telah memantapkan dukungannya.

Partai pendukung maupun tim sukses tampaknya masih berharap agar Marianus Sae bisa bebas sebelum pelaksanaan pilkada. Namun, proses hukum yang menjeratnya tidaklah mudah dan harus melalui jalan yang panjang.

"Para pemilih versi Marianus Sae tahu betul itu maka mereka lupakan saja MS dan beralih dukungan karena sulit mendukung pemimpin yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, rasanya tabu untuk dipilih," katanya.

Kasus yang menimpa Marianus Sae, menjadi pelajaran penting bagi partai pendukung pasangan calon untuk maju dalam perhelatan pesta demokrasi lima tahunan di Bumi Flobamora ini.

Partai harus jauh-jauh hari mepersiapkan kader-kadernya yang kualitasnya agar bisa diandalkan menjadi calon pemimpin birokrasi. "Para kader harus disiapkan lahir dan batin sebagai calon pemimpin sehingga tidak ada persoalan di kemudian hari yang bisa mengganggu kepercayaan masyarakat," ujar Prof. Alo.

Kini, nasib Marianus Sae sudah seperti telur di ujung tanduk. Apakah dia bisa hadir jalan bersama Emilia pada laga pentas pilkada pada tanggal 27 Juni 2018, ataukah Emilia akan terus berjalan sampai akhir tanpa didampingi seorang calon gubernur bernama Marianus Sae?

Tampaknya sepucuk surat cinta dari balik jeruji besi KPK itu belum memberi harapan kepada para pemilih yang telah membidiknya menjadi orang nomor satu di NTT.

Pewarta : Bernadus Tokan
Editor : Laurensius Molan
Copyright © ANTARA 2024