Kupang (AntaraNews NTT) - Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang cukup terkenal dengan kasus gizi buruknya, bahkan saban tahun, kasus ini seakan terus melanda anak-anak balita yang membawa dampak pada kegagalan pertumbuhan (stunting).
Gagalnya pertumbuhan anak dapat dilihat dari status gizinya, terutama pada saat melahirkan. Menurut Kementerian Kesehatan, berat badan bayi baru lahir yang normal adalah 2.500 s.d. 4.000 gram.
Seorang bayi dikatakan memiliki berat badan lahir rendah jika beratnya kurang dari 2.500 gram, dan memiliki kecenderungan untuk menjadi stunting. Mengapa? Karena status gizi ibu yang buruk sebelum dan selama proses kehamilan berlangsung.
Di sisi lain, selama 6 bulan pertama kehidupannya, bayi tersebut tidak mendapat ASI eksklusif dari ibunya, padahal ASI eksklusif merupakan makanan terbaik bagi bayi karena mengandung zat untuk kekebalan tubuh dan perlindungan pada sistem pencernaan.
Selain itu, sang bayi juga mengalami kekurangan asupan energi dan protein yang memadai serta tidak memberikan imunisasi sehingga menghambat pertumbuhannya.
Imunisasi dapat menstimulasi sistem imun untuk membentuk antibodi yang dapat melawan agen infeksi atau menyediakan perlindungan sementara melalui pemberian antibodi. Pemberian imunisasi pada anak bertujuan mengurangi risiko terinfeksi dan mencegah kematian pada anak.
Status imunisasi anak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian stunting. Pasalnya, ketika anak terkena penyakit, akan terjadi perubahan dalam asupan zat gizi, seperti muntah, tidak nafsu makan, dan terjadi peningkatan kebutuhan zat gizi.
Baca juga: Tinggi Anak NTT Berkurang 48,7 Persen
Baca juga: 2.891 Anak NTT "Stunting"
. NTT merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang cukup terkenal dengan kasus gizi buruknya, bahkan saban tahun, kasus ini seakan terus melanda anak-anak balita yang membawa dampak pada kegagalan pertumbuhan (stunting). (ANTARA Foto/dok)
Ketika kebutuhan zat gizi anak tidak terpenuhi, akan terjadi gagal tumbuh yang mengakibatkan stunting," kata Kepala Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Timur dr Cornelius Kodi Mete yang mengakui pula bahwa kasus gizi buruk dan stunting masih terus melanda wilayah NTT.
Dalam catatan medis Dinas Kesehatan NTT tahun 2016, tercatat sebanyak 2.891 dari sekitar 437.730 kasus gizi buruk yang melanda anak-anak balita di wilayah provinsi kepulauan ini yang mengakibatkan mereka mengalami kekerdilan (stunting).
Masalah stunting merupakan masalah gizi masa lalu yang terus mejadi perhatian serius pemerintahan Gubernur NTT Frans Lebu Raya. "Kami terus giat mengampanyekan agar pola asupan gizi masyarakat selalu diperbaiki dari waktu ke waktu untuk mengurangi angka gizi buruk di NTT," katanya.
Gubernur NTT Frans Lebu Raya juga mengklaim bahwa angka gizi buruk di wilayah pemerintahannya terus mengalami penurunan sekitar 8,02 persen dari angka gizi buruk pada tahun 2016 yang mencapai 2.891 kasus.
Kondisi gizi buruk di NTT pada tahun 2013 telah menimpah sebanyak 6.733 balita yang menyebar di 22 kabupaten dan kota. Jumlah tersebut menurun drastis pada tahun 2014 menjadi 3.351 balita, kemudian pada tahun 2015 sebanyak 3.340 balita, lalu pada tahun 2016 sebanyak 3.072 balita.
Menurut Gubernur Frans Lebu Raya, kondisi gizi buruk berkaitan dengan permasalahan kesehatan, di samping merupakan faktor predisposisi yang dapat memperberat penyakit infeksi secara langsung juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan secara individual.
Langkah-langkah pencegahan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan, antara lain, melakukan penyuluhan secara maksimal kepada ibu hamil agar mendapat asupan gizi yang cukup sehingga pertumbuhan janin dalam kandungannya juga berlangsung baik dan maksimal.
Baca juga: Gizi buruk di NTT terus menurun
Baca juga: Gizi buruk melanda kota Kupang
Penderita gizi buruk di NTT
Setelah bayi dilahirkan, diberikan pula ASI eksklusif selama 6 bulan, plus makanan tambahan lainnya pada usia 6 bulan ke atas, serta rajin membawa anak-anaknya ke posyandu.
Cornelius Kodi Mete mengatakan bahwa angka gizi buruk di NTT saat ini terus berkurang daripada dengan 2 hingga 3 tahun yang lalu. Hal ini karena langsung dilakukan intervensi dengan berbagai asupan gizi oleh petugas kesehatan.
Sebagai Kepala Dinas Kesehatan, Kodi Mete terus mendorong penguatan asupan gizi untuk masyarakat serta program gemar makan ikan, karena memiliki manfaat yang sangat baik bagi tumbuh kembang dan kesehatan ibu dan anak-anak.
Instansi yang dipimpinnya akan terus mengampanyekan gemar makan ikan karena kandungan gizi berupa protein yang bagus mereduksi peningkatan kasus-kasus penyakit tidak menular, seperti kasus gizi buruk tersebut.
Ia juga mengharapkan pemerintah kabupaten dan kota se-NTT turut mendukung program makan ikan tersebut, antara lain, dengan memastikan kesediaan ikan yang cukup bagi masyarkatnya.
Baca juga: 240 penderita gizi buruk telah tertangani
Penderita Gizi Buruk
"Di laut kita memang banyak ikan. Akan tetapi, butuh banyak pula keahlian masyarakat untuk menangkapnya sehingga sektor lainnya juga ikut menggiatkannya. Dengan demikian, betul-betul pasokan ikan dapat tercukupi untuk memenuhi masyarakat kita," ujarnya.
Kegagalan Pertumbuhan
Gagalnya pertumbuhan pada anak (stunting) dapat disebabkan oleh banyak faktor. Bila dilihat dari status gizi, stunting merupakan indek perbandingan antara tinggi badan dan usia seseorang sehingga stunting bisa disebabkan karena asupan makanan yang kurang bergizi.
Tingkat pertumbuhan anak usia 1 sampai dengan 3 tahun dan 7 sampai dengan 10 tahun tampaknya jauh lebih cepat sehingga mengharuskan kebutuhan energi yang lebih besar. Pasalnya, usia dan tahap perkembangan anak juga berkaitan dengan kebutuhan energi.
Berat badan lahir, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), berkisar antara 2.500 dan 4.000 gram. Berat badan lahir rendah ini bisa disebabkan karena lahir prematur (kehamilan sebelum 37 minggu) atau gangguan pertumbuhan intrauterin atau kombinasi dari kedua faktor tersebut.
Stunting berawal dari pertumbuhan janin yang tidak memadai dari seorang ibu yang kurang gizi. Bahkan, sekitar dari setengah kegagalan pertumbuhan itu dimulai dirahim.
Bayi yang lahir dengan keadaan berat badan lahir rendah sangat berisiko tinggi pada morbiditas (meratanya penyakit), kematian, infeksi, kekurangan berat badan, stunting di awal periode neonatus sampai masa kanak-kanak.
Baca juga: Dinkes Kota Kupang pantau penderita gizi buruk
Baca juga: Rp400 juta untuk antisipasi gizi buruk
. NTT merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang cukup terkenal dengan kasus gizi buruknya, bahkan saban tahun, kasus ini seakan terus melanda anak-anak balita yang membawa dampak pada kegagalan pertumbuhan (stunting). (ANTARA Foto) (ANTARA Foto/dok)
Bayi dengan berat lahir rendah ini dapat dikaitkan dengan gangguan fungsi kekebalan tubuh, perkembangan kognitif yang buruk, dan berisiko terjadinya diare akut atau pneumonia.
Atas dasar itulah, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan untuk mengonsumsi ASI eksklusif karena bentuk makanan yang ideal untuk memenuhi gizi anak selama 6 bulan pertama kehidupan, serta pendidikan orangtua dalam mengasuh pertumbuhan anaknya.
Menurut standar WHO, bayi yang terlahir kurang dari 45 cm untuk perempuan dan kurang dari 48 cm untuk laki-laki tergolong stunting. Jika tidak diatasi selama 2 tahun pertama, akan memunculkan persoalan lain, seperti rentan terhadap berbagai penyakit.
Di sinilah tampaknya peran pemerintah menjadi sangat sentral dalam mengatasi masalah stunting dan gizi buruk yang terus datang melanda Nusa Tenggara Timur dari tahun ke tahun.
Gagalnya pertumbuhan anak dapat dilihat dari status gizinya, terutama pada saat melahirkan. Menurut Kementerian Kesehatan, berat badan bayi baru lahir yang normal adalah 2.500 s.d. 4.000 gram.
Seorang bayi dikatakan memiliki berat badan lahir rendah jika beratnya kurang dari 2.500 gram, dan memiliki kecenderungan untuk menjadi stunting. Mengapa? Karena status gizi ibu yang buruk sebelum dan selama proses kehamilan berlangsung.
Di sisi lain, selama 6 bulan pertama kehidupannya, bayi tersebut tidak mendapat ASI eksklusif dari ibunya, padahal ASI eksklusif merupakan makanan terbaik bagi bayi karena mengandung zat untuk kekebalan tubuh dan perlindungan pada sistem pencernaan.
Selain itu, sang bayi juga mengalami kekurangan asupan energi dan protein yang memadai serta tidak memberikan imunisasi sehingga menghambat pertumbuhannya.
Imunisasi dapat menstimulasi sistem imun untuk membentuk antibodi yang dapat melawan agen infeksi atau menyediakan perlindungan sementara melalui pemberian antibodi. Pemberian imunisasi pada anak bertujuan mengurangi risiko terinfeksi dan mencegah kematian pada anak.
Status imunisasi anak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian stunting. Pasalnya, ketika anak terkena penyakit, akan terjadi perubahan dalam asupan zat gizi, seperti muntah, tidak nafsu makan, dan terjadi peningkatan kebutuhan zat gizi.
Baca juga: Tinggi Anak NTT Berkurang 48,7 Persen
Baca juga: 2.891 Anak NTT "Stunting"
Ketika kebutuhan zat gizi anak tidak terpenuhi, akan terjadi gagal tumbuh yang mengakibatkan stunting," kata Kepala Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Timur dr Cornelius Kodi Mete yang mengakui pula bahwa kasus gizi buruk dan stunting masih terus melanda wilayah NTT.
Dalam catatan medis Dinas Kesehatan NTT tahun 2016, tercatat sebanyak 2.891 dari sekitar 437.730 kasus gizi buruk yang melanda anak-anak balita di wilayah provinsi kepulauan ini yang mengakibatkan mereka mengalami kekerdilan (stunting).
Masalah stunting merupakan masalah gizi masa lalu yang terus mejadi perhatian serius pemerintahan Gubernur NTT Frans Lebu Raya. "Kami terus giat mengampanyekan agar pola asupan gizi masyarakat selalu diperbaiki dari waktu ke waktu untuk mengurangi angka gizi buruk di NTT," katanya.
Gubernur NTT Frans Lebu Raya juga mengklaim bahwa angka gizi buruk di wilayah pemerintahannya terus mengalami penurunan sekitar 8,02 persen dari angka gizi buruk pada tahun 2016 yang mencapai 2.891 kasus.
Kondisi gizi buruk di NTT pada tahun 2013 telah menimpah sebanyak 6.733 balita yang menyebar di 22 kabupaten dan kota. Jumlah tersebut menurun drastis pada tahun 2014 menjadi 3.351 balita, kemudian pada tahun 2015 sebanyak 3.340 balita, lalu pada tahun 2016 sebanyak 3.072 balita.
Menurut Gubernur Frans Lebu Raya, kondisi gizi buruk berkaitan dengan permasalahan kesehatan, di samping merupakan faktor predisposisi yang dapat memperberat penyakit infeksi secara langsung juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan secara individual.
Langkah-langkah pencegahan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan, antara lain, melakukan penyuluhan secara maksimal kepada ibu hamil agar mendapat asupan gizi yang cukup sehingga pertumbuhan janin dalam kandungannya juga berlangsung baik dan maksimal.
Baca juga: Gizi buruk di NTT terus menurun
Baca juga: Gizi buruk melanda kota Kupang
Cornelius Kodi Mete mengatakan bahwa angka gizi buruk di NTT saat ini terus berkurang daripada dengan 2 hingga 3 tahun yang lalu. Hal ini karena langsung dilakukan intervensi dengan berbagai asupan gizi oleh petugas kesehatan.
Sebagai Kepala Dinas Kesehatan, Kodi Mete terus mendorong penguatan asupan gizi untuk masyarakat serta program gemar makan ikan, karena memiliki manfaat yang sangat baik bagi tumbuh kembang dan kesehatan ibu dan anak-anak.
Instansi yang dipimpinnya akan terus mengampanyekan gemar makan ikan karena kandungan gizi berupa protein yang bagus mereduksi peningkatan kasus-kasus penyakit tidak menular, seperti kasus gizi buruk tersebut.
Ia juga mengharapkan pemerintah kabupaten dan kota se-NTT turut mendukung program makan ikan tersebut, antara lain, dengan memastikan kesediaan ikan yang cukup bagi masyarkatnya.
Baca juga: 240 penderita gizi buruk telah tertangani
Kegagalan Pertumbuhan
Gagalnya pertumbuhan pada anak (stunting) dapat disebabkan oleh banyak faktor. Bila dilihat dari status gizi, stunting merupakan indek perbandingan antara tinggi badan dan usia seseorang sehingga stunting bisa disebabkan karena asupan makanan yang kurang bergizi.
Tingkat pertumbuhan anak usia 1 sampai dengan 3 tahun dan 7 sampai dengan 10 tahun tampaknya jauh lebih cepat sehingga mengharuskan kebutuhan energi yang lebih besar. Pasalnya, usia dan tahap perkembangan anak juga berkaitan dengan kebutuhan energi.
Berat badan lahir, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), berkisar antara 2.500 dan 4.000 gram. Berat badan lahir rendah ini bisa disebabkan karena lahir prematur (kehamilan sebelum 37 minggu) atau gangguan pertumbuhan intrauterin atau kombinasi dari kedua faktor tersebut.
Stunting berawal dari pertumbuhan janin yang tidak memadai dari seorang ibu yang kurang gizi. Bahkan, sekitar dari setengah kegagalan pertumbuhan itu dimulai dirahim.
Bayi yang lahir dengan keadaan berat badan lahir rendah sangat berisiko tinggi pada morbiditas (meratanya penyakit), kematian, infeksi, kekurangan berat badan, stunting di awal periode neonatus sampai masa kanak-kanak.
Baca juga: Dinkes Kota Kupang pantau penderita gizi buruk
Baca juga: Rp400 juta untuk antisipasi gizi buruk
Atas dasar itulah, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan untuk mengonsumsi ASI eksklusif karena bentuk makanan yang ideal untuk memenuhi gizi anak selama 6 bulan pertama kehidupan, serta pendidikan orangtua dalam mengasuh pertumbuhan anaknya.
Menurut standar WHO, bayi yang terlahir kurang dari 45 cm untuk perempuan dan kurang dari 48 cm untuk laki-laki tergolong stunting. Jika tidak diatasi selama 2 tahun pertama, akan memunculkan persoalan lain, seperti rentan terhadap berbagai penyakit.
Di sinilah tampaknya peran pemerintah menjadi sangat sentral dalam mengatasi masalah stunting dan gizi buruk yang terus datang melanda Nusa Tenggara Timur dari tahun ke tahun.