Ical baru saja keluar dari Stasiun Juanda pada pukul 08.50 WIB lalu berjalan menuju minimarket di seberang stasiun. Namun, sekitar 20 orang telah berkumpul dan hingga pukul 09.00 WIB, mereka sudah membentuk lingkaran dengan dua pemandu berada di depan.
"Selamat datang di rute Juanda! Perkenalkan aku Maharani, dan ini temanku, Riky. Kami akan bagi tur ini menjadi dua kelompok," sapa perempuan berbaju warna lilac saat membuka tur wisata berjalan kaki.
Pembagian kelompok berlangsung singkat. Sepuluh orang pertama yang namanya disebutkan Maharani menjadi kelompok yang akan dipandu oleh Riky, sedangkan sisanya, termasuk Ical, menjadi bagian tur yang dia pimpin.
“Hai ... perkenalkan namaku Maharani. Kalian bisa memanggilku Maha, tanpa lini,” kata Maha merujuk penyanyi pop Indonesia, Mahalini Raharja, yang kemudian disambut tawa peserta tur.
Menggunakan mik yang tersambung dengan pengeras suara di pinggang, Maha kemudian meminta kelompoknya untuk saling memperkenalkan diri, yakni menyebutkan nama, asal daerah, hingga pasar favorit. Ternyata, tidak hanya Ical, ada juga peserta yang berasal dari luar Jakarta dan dengan sengaja mendaftarkan diri untuk mengikuti tur pada hari itu.
Kemudian tibalah saatnya Ical memperkenalkan diri. “Nama saya Ical, dari Bogor. Pasar favorit saya itu Pasar Gede di Solo,” katanya.
Ical memperhatikan ada tiga peserta yang baru bergabung dengan kelompoknya sehingga peserta yang akan dipandu oleh Maha berjumlah 13 orang. Tak apa, tur wisata belum dimulai, dan Maha masih mengarahkan peserta untuk menyelesaikan sesi perkenalan.
"Kalian tahu enggak sih stasiun tertua di Jakarta itu apa?” tanya Maha kepada peserta setelah sesi perkenalan berakhir. Menurut Ical, stasiun tertua adalah Jakarta Kota, namun dirinya kebingungan mencari kaitan antara Stasiun Juanda dengan stasiun tertua.
Maha menjelaskan jawabannya bukanlah Stasiun Juanda. Stasiun tertua di Jakarta adalah Stasiun Batavia Noord, tetapi bangunan stasiun tersebut sudah dihancurkan. Dahulu, stasiun tersebut berada di area yang sekarang menjadi Bank BNI di Jalan Lada.
"Nah, Stasiun Juanda termasuk bagian dari jaringan pertama jalur kereta api yang menghubungkan Batavia dengan Buitenzorg (Bogor), seperti Stasiun Batavia Noord,” papar Maha. Pada awalnya, Stasiun Juanda diberi nama Noordwijk, lalu berubah menjadi Stasiun Pintu Air pada masa penjajahan Jepang.
Ical kemudian memperhatikan tulisan Stasiun Juanda di belakang Maha. Tulisan tersebut menjadi penanda dari stasiun yang dicat berwarna biru tersebut.
Seolah menjawab pertanyaan di benak peserta tur, Maha mengatakan bahwa Stasiun Juanda menjadi salah satu stasiun yang berwarna karena untuk memudahkan penumpang mengetahui posisi terkini. Selain itu, warna biru dikabarkan menjadi warna favorit dari pahlawan Djuanda Kartawidjaja yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia maupun Kepala Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI).
Mendengar informasi itu, semua peserta tampak bergumam, baru tahu.
Jalan Pintu Air Raya

Tur wisata mulai berganti tempat. Setelah memasuki sebuah lorong penghubung, tibalah Ical bersama rombongan tur di Jalan Pintu Air Raya.
“Aku kurang tahu tepatnya di bangunan ini atau yang di seberang sana, tapi di jalan ini ada Bioskop Capitol yang eksklusif karena hanya orang Eropa yang boleh nonton di sana. Filmnya juga film barat, enggak bisa film Indonesia tayang di sini,” kata Maha menjelaskan sambil memperlihatkan foto Bioskop Capitol pada masa jayanya melalui tablet membaca.
Ical kemudian memandang bangunan bercat warna putih di hadapannya, seperti sebuah rumah toko di jalan yang tampak lengang dari kendaraan. Sementara bangunan di belakangnya, tampak ramai dengan tempat makan yang beragam kulinernya, salah satunya menyajikan kuliner dari Pontianak, Kalimantan Barat.
“Suatu ketika ada Bapak Usmar Ismail, Bapak Perfilman Indonesia, yang membuat film berjudul Krisis. Usmar Ismail ingin filmnya diputar di Capitol, dan dia mendatangi Manajer Capitol. Manajer menilai film Indonesia enggak level diputar di Bioskop Capitol dan Bapak Usmar Ismail marah sehingga terjadi baku hantam,” kata Maha menarik kembali fokus Ical.
Peristiwa tersebut terdengar oleh Manajer Megaria atau saat ini bernama Metropole. Akhirnya, film Krisis diputar di Metropole, dan selama 3 minggu menjadi film yang banyak ditonton pada saat itu. Melihat pencapaian film Krisis, Bioskop Capitol kemudian memutuskan untuk menayangkan film Indonesia.
Upaya yang dilakukan Usmar Ismail membuat Ical merenung. Bagaimana tidak? Usmar Ismail mampu membuat bioskop yang eksklusif untuk film barat menjadi mau menayangkan film Indonesia.
Usai menceritakan Bioskop Capitol, Maha memutuskan untuk mengajak peserta tur berjalan sekitar 50 meter.
Tur berhenti di persimpangan Jalan Pintu Air Raya dengan Jalan Antara. “Siapa yang di sini suka mendengarkan musik?” tanya Maha membuka percakapan.
Saat ini, Ical dan peserta tur lainnya menatap bangunan lama berwarna putih yang berpadu dengan sedikit warna jingga di sisi kanannya. Dia menebak bahwa gedung tersebut memiliki riwayat dengan industri musik pada beberapa waktu lalu.
“Ada seorang saudagar peranakan, pengusaha besar, yang tinggal di sini. Namanya Tio Tek Hong. Pada 1902, dia mendirikan perusahaan rekaman musik. Nah, ada dua versi, pertama ada yang mengatakan bahwa perusahaannya adalah gedung di belakang kita, ada lagi katanya letaknya di Pasar Baru, nanti aku tunjukin,” ujar Maha.
Perusahaan milik Tio Tek Hong merupakan label rekaman pertama di Hindia Belanda yang pada awal produksinya merupakan hasil impor dari Eropa. Kemudian, dia memutuskan memproduksi musik sendiri berbentuk gramofon. Label rekaman dia diberi nama Tio Tek Hong Record, dan memiliki ciri khas saat awal dimainkan yang berbunyi “dibuat oleh Tio Tek Hong.”
Sementara lagu yang diproduksi adalah keroncong, gambus, lagu Melayu, hingga kasidahan, sedangkan penyanyinya memiliki ciri khas dengan tambahan nama ‘Miss’ di depan namanya, layaknya seorang diva. Misalnya saja seperti Miss Riboet dan Miss Tjitjih. Selain itu, label rekaman Tio Tek Hong juga merekam sandiwara.
Ical membayangkan betapa riuhnya label rekaman tersebut. Ada yang ingin bermusik, dan ada juga yang datang untuk merekam sebuah sandiwara. Belum lagi hilir mudiknya seorang ‘Miss’ untuk mempersiapkan karya terbaiknya.
Namun, tak perlu diambil pusing, sebab tur kembali dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 160 meter dan berhenti di seberang gedung bercat putih dan kuning. Pada beberapa bagian gedung tertulis ‘Haka Restaurant’ dan logo lama dari sebuah badan usaha milik negara (BUMN), yakni PT Asabri.
“Sekarang jadi restoran, dulunya apa, sih? Ini ada tulisannya di sini, Bataviaasch Nieuwsblad. Kira-kira apa?” tanya Maha sambil memperlihatkan sebuah foto lama yang bentuknya tidak jauh berbeda dengan kondisi gedung saat ini.
Rupanya, gedung tersebut dahulu merupakan kantor surat kabar terbesar di Hindia Belanda yang didirikan oleh seorang jurnalis Belanda bernama Paulus Adrianus Daum. Sementara salah seorang jurnalis yang pernah bekerja di sana adalah Ernest Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi yang merupakan salah satu dari “Tiga Serangkai.”
Maha menjelaskan bahwa Bataviaasch Nieuwsblad merupakan media yang memihak pribumi. Kemudian isinya tidak hanya menyajikan berita saja, namun juga memuat novel-novel karya Daum.
Lalu, tur kembali berlanjut. Kali ini, sekitar 90 meter harus ditempuh oleh peserta tur.
Sebuah bangunan yang tampaknya belum dicat bernomor 33c, dan spanduk informasi bimbingan belajar (bimbel) seolah mengajak kami untuk menelusuri jalan yang tersaji di bawahnya. Sesudahnya, sebuah bangunan berlantai dua yang terkesan tua menyambut kedatangan kami.
“Anggap aja rumah sendiri. Sini-sini kalau mau melihat. Kalau dulu bayar pajak pakai ini,” kata Maha menunjuk sebuah tempelan dinding dengan sebagian tulisan yang hampir pudar bertuliskan V. No 8639.
Tempelan dinding tersebut merupakan bagian dari bekas rumah keluarga Tio Tek Hong yang saat ini menjadi Toko Kopi Maru. Tak sengaja bertemu, Riky menjelaskan kepada Maha dan peserta turnya bahwa dia tidak sengaja pernah berbincang dengan pemiliknya.
“Gua ketemu bulan ini, pas di depan, terus dia bilang kalau dihitung ini udah generasi keempat,” kata Riky.
Sementara itu, Ical maupun peserta lainnya tidak mau melewatkan momen untuk memesan kopi atau mungkin minuman nonkopi di toko tersebut. Hitung-hitung sebagai bekal untuk menemani perjalanan mengenang Pasar Baru.
Jalan Kelinci Raya
Jakarta, kotaku indah dan megah
Di situlah aku dilahirkan
Rumahku di salah satu gang
Namanya Gang Kelinci
Demikian syair lagu Gang Kelinci yang dinyanyikan Lilis Suryani era 1960-an.
Bukan Gang Kelinci, melainkan Jalan Kelinci Raya yang menyambut Ical dan 12 orang lainnya setelah mengenang Pasar Baru di Jalan Pintu Air.
“Ada sebuah toko di seberang kita, toko populer, nah ini yang digadang-gadang sebagai salah satu versi toko Tio Tek Hong. Kira-kira mirip mana sama yang tadi?” tanya Maha kepada peserta tur.
“Yang tadi,” serempak para peserta menjawab bahwa gedung yang berada di simpang Jalan Pintu Air Raya dan Jalan Antara merupakan bangunan yang diperkirakan sebagai toko Tio Tek Hong. Ical juga memikirkan hal serupa.
“Omong-omong, nanti kita mau masuk dan nyobain cakwe Koh Atek yang udah ada sejak 1971. Dari menjual cakwe itu dia bisa keliling ke beberapa negara,” kata Maha menjelaskan tujuan tur selanjutnya.
Maha memaparkan bahwa cakwe juga memiliki sejarah. Kata cakwe berasal dari bahasa Hokkien yang berarti "hantu yang digoreng".
Pada masa Dinasti Song, ada seorang jenderal yang dicintai rakyat bernama Yue Fei. Dia difitnah oleh Menteri Qin Hui sehingga dipenjara dan dihukum mati. Rakyat marah atas kematian Yue Fei.
Sementara itu, ada pedagang yang membuat adonan kue yang dibuat berpasangan sebagai simbol Qin Hui dan istrinya. “Jadi ketika makan, seperti kita dendam menggigit orang itu. Jadi cakwe itu simbol kemarahan warga Tiongkok,” katanya.
Jalan Pasar Baru Dalam