Berjalan kaki selama 60 meter dengan rute menelusuri sedikit Jalan Kelinci Raya dan berbelok ke kiri menuju Jalan Pasar Baru Dalam. Akhirnya, tibalah Ical dan rombongan di Cakwe Koh Atek. Sebanyak delapan orang tampak mengantre untuk membeli dan mencicipi cakwe ataupun kue bantal buatannya.
Koh Atek terlihat fokus membuat adonan cakwe. Sementara di belakangnya, tampak beberapa spanduk yang menginformasikan usahanya. Dimulai dari harga satuannya yang dijual seharga Rp6 ribu, “10 Most Wanted Food in Jakarta” atau 10 makanan yang paling dicari di Jakarta, hingga penjelasan bahwa Koh Atek merupakan generasi kedua.
Selain Koh Atek, ada juru masak yang sedia menggoreng adonan cakwe. Di sisi lain, istri Koh Atek sigap melayani pembeli.
Ical dan rombongan tidak mau melewatkan kesempatan untuk menjajal kuliner dari Pasar Baru tersebut. Mereka mengantre dan membeli sesuai selera.
Menurut Ical, cakwe buatan Koh Atek memiliki rasa gurih, sedangkan kue bantal mempunyai rasa manis yang khas. Bagusnya, kedua kudapan tersebut tidak berminyak.
Sembari makan, perjalanan dilanjutkan kembali sekitar 130 meter hingga bertemu dengan Kelenteng Sin Tek Bio. Sebuah klenteng dengan warna merah identik yang seakan bersembunyi di dalam gang.
“Kelenteng ini salah satu yang tertua di Jakarta, tapi kalau yang tertua banget ada di Glodok, Kelenteng Dharma Bhakti dari 1650. Kalau ini dari 1698,” kata Maha menjelaskan.
Meskipun bukan kelenteng tertua di Jakarta, Sin Tek Bio hadir terlebih dahulu di Pasar Baru sebelum dibangun pada 1820. Sebelumnya, daerah Pasar Baru merupakan rawa-rawa.
“Dulu, pintunya enggak di sini, tapi dekat Bakmi Aboen tadi. Seperti yang kubilang tadi, kelenteng ini lebih tua dibandingkan Pasar Baru. Dulu masih kosong di sini dan kita bisa lihat kelenteng dari kejauhan, tapi lama-kelamaan semakin banyak bangunan di samping-sampingnya hingga akhirnya pintunya dipindahkan ke sini,” papar Maha.
Sementara itu, berbeda dengan Dharma Bhakti yang memiliki Dewi Kwan Im sebagai dewa tuan rumah, Sin Tek Bio mempunyai Hok Tek Ceng Sin atau Dewa Bumi. Hok Tek Ceng Sin juga dikenal dengan Dewa Kekayaan atau Dewa Rezeki.
“Nah ini ada nama Sin Tek Bio, tapi ada nama Vihara Dharmajaya. Zaman Orde Baru, semua hal berbau Tionghoa itu dimusnahkan atau diganti. Hingga akhirnya diangkatlah nama Indonesianya Dharmajaya, tapi setelah zaman Gus Dur, semua diperbolehkan lagi,” kata Maha menambahkan.
Kemudian, tur menyambangi kelenteng bagian dalam. Sesudah itu, perjalanan kembali dilanjutkan sekitar 50 meter hingga menemukan simpang tiga ke arah Jalan Pasar Baru.
“Suka minum jamu, enggak?” tanya Maha tiba-tiba kepada peserta. Sontak saja Ical mencari toko jamu di sekitarnya, tetapi hanya menemukan pedagang pakaian, jam, ataupun lapak kosong.
Ternyata, sebuah bangunan berlantai dua dan berwarna putih yang dipenuhi oleh lapak pedagang di depannya, dahulu merupakan sebuah toko jamu Nyonya Meneer milik Lauw Ping Nio.
“Suatu ketika, suaminya itu sakit perut yang sangat parah yang sulit disembuhkan oleh dokter mana pun. Akhirnya dia ingat pernah diajari racikan jamu, dan dia cobalah, dan dia kasih minum ke suaminya, ternyata sembuh. Dari situlah dia mulai rajin membuat jamu untuk kerabat, tetangga, maupun yang membutuhkannya,” kata Maha.
Jamu Nyonya Meneer identik dengan potret dirinya. Hal itu untuk menandakan keaslian jamu buatan Nyonya Meneer. Sementara nama Meneer, diambil dari menir atau bubuk bekas penumbukan padi. Dikabarkan saat masih di dalam kandungan, sang ibu mengidam menir.
Adapun saat ini, Nyonya Meneer telah dinyatakan bangkrut pada 2017 karena tidak mampu membayarkan utang kepada kreditor.
Meskipun demikian, tanda-tanda bekas toko jamu tersebut masih dapat ditemui pada atap bagian sebelah kiri atas yang terdapat tulisan “Njonja Meneer” yang mulai pudar.
Kisah di Jalan Pasar Baru Dalam amat menarik. Mulai dari kuliner, klenteng, hingga toko jamu. Namun, momen mengenang Pasar Baru ini belum berakhir.
Ayam dan elang
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Pniel atau Gereja Ayam menjadi destinasi selanjutnya untuk mengenang Pasar Baru. Pada atapnya, terdapat petunjuk arah angin yang berbentuk ayam.
Maha menjelaskan bahwa pada awalnya GPIB Pniel merupakan kapel atau bangunan sederhana yang terbuat dari kayu. Hingga akhirnya, pada 1913, pembangunan gereja direncanakan karena mempertimbangkan jumlah jemaat yang semakin banyak. Adapun arsiteknya adalah Eduard Cuypers dan Marius Hulswit.
“Lalu kenapa ada ayam jago? Karena itu berhubungan dengan Alkitab pada cerita kejadian peristiwa Petrus menyangkal Yesus tiga kali sebelum ayam berkokok. Tapi ada juga kaitannya dengan aliran Lutheran yang diinisiasi oleh Martin Luther King,” katanya.
Ayam tersebut ternyata juga memiliki kisah dengan hadirnya patung elang pada atap sebagian bangunan di Pasar Baru.
“Pada tahun 1920 sampai 1930-an, pamor Pasar Baru turun. Nah kebanyakan pedagang di Pasar Baru itu orang Tionghoa, yang percaya dengan fengsui. Hingga akhirnya ahli fengsui dari Tiongkok didatangkan ke sini,” kata Maha.
Jika dilihat dari udara, Pasar Baru yang memiliki jalan besar dan terhubung dengan gang-gang kecil layaknya kelabang. Kemudian, ahli fengsui menilai bahwa pamor Pasar Baru menurun karena adanya kehadiran ayam yang selalu mematok kelabang atau rezeki pedagang di sana. Akhirnya, ahli fengsui menyarankan untuk dibuatkan patung elang.
“Percaya enggak percaya, setelah dibangun akhirnya pamornya naik lagi. Tapi dari sejarahnya, pada 1920 sampai 1930 memang lagi ada resesi pada saat itu,” papar Maha.
Seperti yang disampaikan oleh Maha, Ical, atau mungkin peserta lainnya, turut percaya atau tidak percaya dengan kisah ayam, elang, dan kelabang itu.
Jalan Pasar Baru