Masyarakat, terkhusus pencari kerja, perlu mewaspadai cara kerja yang kerap dijalankan sindikat TPPO, termasuk yang melakukan penipuan daring.
Cara kerjanya adalah menyebarkan iklan lowongan pekerjaan di media sosial untuk bekerja di perusahaan daring di luar negeri.
Beberapa orang direkrut oleh kerabat, termasuk anggota keluarga, teman dekat atau tetangga.
Kemudian syarat pendaftaran yang ringan membuat orang tertarik untuk ikut bergabung dan tawaran gaji tinggi dan tanggungan biaya keberangkatan oleh perusahaan menambah daya tarik korban.
Setelah masuk jebakan, para korban itu kemudian dipaksa bekerja di lingkungan yang memberikan kerugian, yakni bekerja hingga 16 jam sehari dan harus mencapai target tertentu agar gaji bisa dibayar.
Tak jarang para korban itu mengalami kekerasan verbal dan fisik oleh atasannya dan melarang para korban untuk meninggalkan kompleks perusahaan dan dikenakan denda apabila mengundurkan diri.
Ciri-ciri
Komnas HAM mencatat salah satu ciri TPPO yang perlu diwaspadai pekerja migran adalah kerja yang tidak jelas.
Padahal kontrak kerja mengatur kewajiban dan hak pekerja dan pemberi kerja, baik perusahaan atau pun individu.
Tidak adanya kontrak kerja akan berdampak buruk kepada pekerja karena tidak ada kepastian dan jaminan hukum atas hubungan kerja.
Apabila ada kontrak kerja, maka calon pekerja perlu mempelajari teliti isi kontrak kerja itu, terutama terkait hak dan kewajiban yang tertulis jelas.
Ciri-ciri lain yang tidak jelas ditawarkan lowongan pekerjaan penipuan daring adalah data dan alamat perusahaan tidak jelas, perusahaan berjanji menanggung semua biaya berangkat, permintaan data pribadi secara langsung, adanya biaya pendaftaran, hingga penahanan paspor.
Calon pekerja perlu kritis dan mewaspadai tawaran gaji fantastis dan tidak logis, namun syarat pendaftaran kerja begitu ringan.
Masyarakat juga perlu memperhatikan perusahaan di iklan lowongan itu harus memiliki status badan hukum yang sah dan izin.
Sementara itu, dari sisi usia, para perekrut biasanya menyasar usia produktif, yakni rentang 18-35 tahun, paham teknologi/digital, didominasi kelompok ekonomi menengah, dan belum atau sulit mendapat pekerjaan di daerah asal.
Sementara dari latar belakang pendidikan, para korban memiliki pendidikan SMA, diploma tiga (D3), sarjana, bahkan pascasarjana.
Dari sisi gender, baik laki-laki maupun perempuan dapat menjadi korban. Meski begitu, perempuan dan anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan.
Sementara ASEAN merupakan kawasan yang tinggi arus pekerja migran, dengan diperkirakan jumlah pekerja migran mencapai 10 juta per tahun, yang sekitar 50 persen di antaranya adalah pekerja perempuan, berdasarkan data Komnas HAM RI.
Di sisi lain, data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan pada 2018 korban perdagangan orang mencapai 297 orang dan pada 2022 melonjak signifikan mencapai 752 orang.
Untuk itu, pekerja migran perempuan dinilai rentan menjadi TPPO karena jenis pekerjaan di luar negeri banyak berkaitan dengan keahlian perempuan, misalnya asisten rumah tangga atau pekerja domestik.
Upaya kerja sama