Artikel - PPN 12 persen: Antara menjaga kesehatan APBN dan daya beli masyarakat

id PPN 12 persen,daya beli masyarakat,APBN,pajak Oleh Imamatul Silfia

Artikel - PPN 12 persen: Antara menjaga kesehatan APBN dan daya beli masyarakat

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah) bersama Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu (kiri), Suahasil Nazara (kedua kiri), Thomas A. M. Djiwandono (kedua kanan), dan Sekretaris Jenderal Heru Pambudi (kanan) saat menyampaikan paparan pada rapat kerja dengan Komisi XI DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (13/11/2024). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/tom

Bila nantinya PPN 12 persen tetap diimplementasikan, Pemerintah perlu menyusun kebijakan yang dapat mengimbangi efek kenaikan tarif agar stabilitas ekonomi tetap terjaga. Pemerintah pun harus memastikan masyarakat mendapat timbal balik yang sepadan d

Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhirnya buka suara soal kelanjutan rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen. Setelah dihujani pertanyaan oleh Komisi XI DPR RI pada pekan lalu, Sri Mulyani mengatakan kebijakan tarif PPN menyesuaikan mandat undang-undang. Artinya, kebijakan ini bakal diterapkan pada 1 Januari 2025 sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2021.

Pro-kontra terhadap kebijakan ini langsung jadi perdebatan, dan kembali masif usai pernyataan Bendahara Negara di rapat DPR itu. Banyak yang minta Pemerintah membatalkan rencana tersebut. Argumentasi utama umumnya menyoal daya beli masyarakat yang sedang lesu, namun Menkeu menegaskan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dijaga kesehatannya.
 

Pertimbangan PPN 12 persen

Pada rapat itu, Sri Mulyani menjelaskan dengan tegas bahwa kebijakan perpajakan disusun dengan mempertimbangkan kondisi di berbagai sektor.

Dalam konteks kenaikan tarif PPN, wacana disusun pada tahun 2021 ketika dunia habis digempur COVID-19. Kebutuhan sektor kesehatan hingga perlindungan sosial membutuhkan anggaran yang luar biasa besar secara tiba-tiba, menyebabkan defisit APBN yang signifikan. Serangan pandemi ini mendorong urgensi menyiapkan kas negara dengan dana yang cukup memadai untuk menghadapi krisis.

Salah satu cara yang dipilih Pemerintah kala itu adalah menaikkan PPN. Ide ini tak mengherankan bila mempertimbangkan kontribusi PPN terhadap penerimaan negara.

Berdasarkan catatan Lembaga Penyelidikan Ekonomi & Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI), penerimaan PPN tetap andal di tengah pelemahan ekonomi akibat pandemi, mengingat cakupannya yang luas di berbagai sektor ekonomi. PPN juga secara konsisten menjadi kontributor utama penerimaan, bersama pajak penghasilan (PPh), sejak 2010.

Alhasil, masuk akal bila menaikkan tarif PPN menjadi jalur cepat yang dipilih Pemerintah untuk mengukuhkan instrumen keuangan negara.

Akan tetapi, kondisi ekonomi bergerak dinamis. Di antara banyak aspek yang mengalami pergeseran, kemampuan belanja masyarakat menjadi salah satunya.

Pada sisi ketenagakerjaan, peralihan dari industri padat karya ke padat modal menyebabkan peningkatan jumlah pekerja informal akibat menurunnya penyerapan tenaga kerja. Data terakhir menunjukkan porsi pekerja informal mencapai 57,95 persen, lebih dominan dari pekerja formal yang sebanyak 42,05 persen.

Sementara, bekerja di sektor informal berpotensi mengurangi kemampuan belanja. Pendapatan yang tidak stabil membuat konsumen menahan belanja karena mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar. Risikonya, penjualan barang sekunder bisa jadi terhambat.

Kondisi itu tercermin pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Porsi belanja kelas menengah untuk makanan meningkat pada 2024 dibandingkan 2019, sedangkan pengeluaran untuk hiburan dan kendaraan menurun. Padahal, kelas menengah merupakan salah satu penopang serapan PPN dari sektor-sektor sekunder itu.

Yang juga menjadi persoalan, jumlah kelas menengah mengalami penurunan hampir 10 juta orang pada periode waktu tersebut. Bila kondisi ini terus berlanjut, makin banyak orang yang bakal lebih mengutamakan pengeluaran makanan, yang berarti jual beli di sektor sekunder pun akan makin tertekan.

Tinjauan lain yang juga perlu menjadi perhatian yaitu dari sisi pelaku usaha. Seperti yang disorot oleh Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, penyesuaian tarif PPN bisa berdampak terhadap omzet pengusaha. Mereka mungkin akan meresponsnya dengan melakukan penyesuaian kapasitas produksi hingga penurunan jumlah tenaga kerja. Artinya, muncul risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor.

Menjadi pengangguran berarti kehilangan pendapatan, yang berimbas pada kemampuan belanja melemah. Proses ini terjadi seperti sebuah siklus.
 

Evaluasi kebijakan