Jakarta (ANTARA) - Isu mengenai korban pemerkosaan yang "ditutupi" dengan pernikahan sering kali menjadi topik yang mengundang perdebatan di masyarakat.
Dalam beberapa budaya, masih ada anggapan bahwa pernikahan dapat menjadi jalan keluar bagi korban pemerkosaan, dengan tujuan untuk menghapuskan aib dan memberikan solusi sosial terhadap peristiwa tragis tersebut.
Pada prinsipnya pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang berdasarkan pada persetujuan kedua belah pihak dalam Islam. Kedua pihak, baik laki-laki maupun perempuan, harus secara sukarela dan bebas memilih untuk menikah.
Oleh karena itu, pernikahan paksa termasuk dalam kasus pemerkosaan tidak sesuai dengan prinsip dasar hukum perkawinan Islam.
Hukum Islam menuntut adanya persetujuan penuh dan kebebasan dalam memilih pasangan hidup.
Pada situasi pemerkosaan, ketika korban jelas tidak memberikan persetujuan, pernikahan dengan pelaku tidak hanya bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam, tetapi juga berisiko merendahkan martabat dan hak-hak korban.
Hukum perkawinan Islam jelas memberikan pedoman tentang bagaimana pernikahan harus dilaksanakan dengan niat yang baik dan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Hukum Islam melarang keras pemaksaan dalam segala bentuknya, termasuk dalam konteks pernikahan.
Sebagai solusi yang lebih adil, hukum Islam menekankan pentingnya perlindungan terhadap korban, pemulihan hak-hak korban, dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku pemerkosaan.
Oleh karena itu, memaksa korban pemerkosaan untuk menikahi pelaku tidak hanya bertentangan dengan hukum Islam, tetapi juga melanggar hak asasi manusia yang mendasar. Sehingga pernikahan tidak dapat dijadikan solusi yang sah dan adil dalam kasus pemerkosaan karena bertentangan dengan prinsip dasar dalam hukum Islam.
Dalam Islam, korban pemerkosaan memiliki hak-hak yang sangat penting untuk dihormati. Hak tersebut seperti hak untuk memberikan persetujuan dalam pernikahan, hak untuk mendapatkan perlindungan dan pemulihan, hak untuk mendapatkan keadilan, dan hak untuk menjaga martabat dan kehormatan mereka.
Memaksa korban untuk menikahi pelaku pemerkosaan tidak hanya merugikan korban, tetapi juga bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya kebebasan, keadilan, dan martabat manusia.
Oleh karena itu, solusi yang lebih tepat dalam kasus pemerkosaan adalah penegakan hukum yang adil terhadap pelaku dan perlindungan serta pemulihan hak-hak korban.
Dasar hukum dalam menangani hak-hak korban pemerkosaan dan pernikahan paksa harus merujuk pada sumber hukum Islam yang menjadi pedoman utama dalam memuliakan manusia, mengatur kebebasan memilih pasangan hidup dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Kitab suci Al Qur'an adalah sumber hukum pertama. Kedua, hadis nabi mengenai pernikahan dapat menjadi rujukan berikutnya.
Di Al Qur'an prinsip keadilan sangat penting. Islam menuntut agar korban diberikan hak untuk memilih jalan hidupnya tanpa paksaan, mendapatkan perlindungan yang layak, dan memastikan bahwa pelaku dihukum sesuai dengan perbuatannya. QS An Nisa ayat 48 jelas memerintahkan hal tersebut:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil...” (QS 4:58).
Ayat ini menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan dalam setiap situasi, termasuk dalam kasus pemerkosaan dan perlakuan terhadap korban. Memaksa korban untuk menikahi pelaku pemerkosaan bukanlah bentuk keadilan, karena ini mengabaikan hak korban untuk memilih jalan hidup sendiri dan melindungi martabat korban.
Martabat individu dalam hukum Islam adalah hak yang sangat dilindungi. Dalam konteks pemerkosaan, martabat korban harus dipulihkan dengan memberikan hak-hak korban untuk memilih jalan hidup tanpa paksaan, mendapatkan perlindungan yang layak, dan menerima keadilan sesuai dengan ajaran Islam.
Prinsip Keadilan