Kupang (ANTARA) - Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) melalui Rumah Harapan GMIT melaporkan bahwa selama tahun 2024 jumlah kekerasan berbasis gender serta kasus perdagangan orang dan penerimaan jenazah pekerja migran NTT yang ditangani oleh mereka mengalami penurunan dibanding tahun 2023.
"Turun sebesar 28,64 persen atau dari 199 kasus di tahun 2023, di tahun 2024 turun jadi 143 kasus," kata Ketua Pengurus Rumah Harapan GMIT Ferderika Tadu Hungu di Kupang, Sabtu.
Hal ini disampaikannya dalam kegiatan catatan tahunan Rumah Harapan GMIT tahun 2024 dengan tema Greje Sebagai Rumah Aman : Menghapus kekerasan dan perdagangan orang, merangkul harapan.
Dia merincikan dari jumlah kasus penanganan yang ditangani oleh mereka, dia menyebutkan kasus kekerasan berbasis gender berjumlah 73 kasus, perdagangan orang berjumlah tiga kasus dan penerimaan jenazah pekerja migran asal NTT berjumlah 67 kasus.
Secara lebih rinci lagi dia menambahkan bahwa dari 73 kasus kekerasan berbasis gender dan tiga kasus perdagangan orang itu, 52 orang atau 68,26 persen adalah umat atau jemaat dari GMIT.
Kemudian 18 orang non Kristen dan enam orang non GMIT atau denominasi atau setara dengan 7,84 persen .
Dari sejumlah kasus kekerasan berbasis gender, Ferderika menjelaskan bahwa kekerasan terhadap anak menempati posisi tertinggi dengan jumlah kasus 35 kasus, 22 kasus kekerasan terhadap perempuan.
Sementara itu bentuk kekerasan yang paling sering dialami itu korban adalah kekerasan psikis berjumlah 73 kasus, seksual 34 kasus dan fisik 27 kasus.
"Jumlah kasus kekerasan seksual meningkat 0,05 persen dibandingkan dengan tahun 2024," ujar dia.
Dia menambahkan bahwa berbagai kasus kekerasan berbasis gender yang ditangani oleh GMIT adalah hasil laporan dan para korban.
Namun laporan itu baru dilakukan setelah kejadian yang menimpa korban sudah beberapa kali.
Sekretaris Pengurus RH GMIT Juliana Ndolu mengatakan bahwa mereka, terlambatnya para korban melapor adanya kekerasan karena berbagai alas an.
"Tentu yang pertama soal yang menafkahi hidup, yang kedua, korban berusaha untuk menutup perselisihan yang terjadi di dalam rumah tangganya agar tidak semua keluarga besar tahu, dan beberapa alasan lainnya," ujar dia.
Namun menurut dia, jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, kini kesadaran untuk melapor dari korban sudah ada, walaupun butuh waktu yang lama.