Jakarta (ANTARA) - Perang rudal antara Iran dan Israel semakin sengit walau banyak kalangan meminta kedua negara agar menghentikan konflik yang bisa menyeret dunia ke perang yang lebih luas.
Namun, yang terlihat kemudian: semakin membabi buta serangan Israel, semakin keras balasan dari Iran.
Hanya sedikit negara yang membenarkan serangan Israel, dan di atas yang sedikit itu adalah Amerika Serikat dengan presidennya, Donald Trump, yang tak menyembunyikan dukungannya terhadap Israel.
Israel sendiri menggunakan alasan klasik untuk menyerang Iran, yakni program nuklir, kendati tak mengesampingkan dalih adanya tangan-tangan Iran dalam apa yang disebut "poros perlawanan", yang terdiri dari Houthi di Yaman, Hizbullah di Lebanon, Hamas di Jalur Gaza, dan proksi-proksi Iran lainnya di Timur Tengah.
Beberapa kalangan di Timur Tengah menilai serangan Israel itu ada kaitannya dengan negosiasi nuklir diam-diam antara Iran dan Amerika Serikat, yang kabarnya sudah mencapai kemajuan.
Dalam pemahaman ini, serangan Israel ke Iran tak bisa disebut sekadar melucuti program nuklir Iran.
Sebaliknya, serangan itu adalah upaya melemahkan kerangka diplomatik yang tengah dibingkai Iran dan AS dengan mediasi Oman, yang dapat melegitimasi Iran dalam mengembangkan infrastruktur nuklirnya di bawah pengawasan sah badan internasional.
Dalam kata lain, serangan Israel itu adalah sabotase terhadap proses diplomatik untuk program nuklir Iran.
Anehnya, entah disengaja atau tidak, pemerintahan Presiden Donald Trump tidak merahasiakan kemajuan-kemajuan negosiasi nuklir Iran dari Israel.
Akses yang dibiarkan terbuka oleh pemerintah Trump ini membuat pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dapat menaksir kapan melancarkan serangan militer untuk menyabotase diplomasi diam-diam antara Iran dan AS tersebut.
Mereka menjadi tahu kapan waktu paling tepat untuk menyabotase proses politik itu, yakni ketika perundingan di ambang menghasilkan kesepakatan besar, yang malah tak dikehendaki Israel karena bisa membebaskan Iran dari kerangkeng isolasi internasional.
Kenyataannya, meminjam analisis pakar yang dimuat Middle East Monitor pekan ini, serangan Israel terhadap Iran terjadi setelah perundingan rahasia AS dan Iran itu mencapai kemajuan signifikan yang bisa membawa Iran menyepakati syarat-syarat AS dalam kaitan penghentian program nuklirnya.
Kemajuan-kemajuan itu di antaranya adalah kesediaan Iran untuk diinspeksi oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dan kesediaan membatasi proyek pengayaan Uranium, dengan imbalan keran ekspor minyak Iran dibuka kembali kendati dilakukan di bawah pengawasan ketat.
Kemajuan seperti itu adalah kabar gembira bagi dunia, tapi bagi Israel yang merangkul doktrin bahwa Iran hanya dapat dijinakkan dengan isolasi total, adalah kabar buruk.
Rencana tersembunyi
Israel selalu menampik gagasan merangkul Iran. Mereka adalah pihak yang paling senang ketika pada 2018 Presiden Trump membatalkan kesepakatan nuklir Iran yang diperantarai enam negara besar.
Kini, karena Israel tak bisa mengendalikan kerangka kerja diplomatik, Netanyahu memilih mengerahkan skuadron jet tempur siluman F-35 dan rudal jelajah guna memancing Iran dalam konflik besar untuk kemudian mengundang AS melibatkan diri dalam perang ini.
Netanyahu memakai pernyataan IAEA yang menyatakan Iran tak kooperatif dalam program nuklir, sebagai alasan membom Iran, padahal IAEA tidak menyatakan Iran tengah memproduksi senjata nuklir.
Banyak yang menduga Israel memiliki rencana tersembunyi yang mungkin lebih jahat.
Salah satu yang menangkap sinyalemen ini adalah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang menyebut Israel memiliki motif tersembunyi yang membahayakan kawasan.
Dalam konferensi pers setelah rapat kabinet awal pekan ini, Erdogan berkata, "Kini dari hari ke hari kian terang saja bahwa serangan Israel itu memuat motif yang jauh lebih luas dan berbahaya."
Faktanya, Netanyahu menginginkan pergantian rezim di Iran. Dia ingin melenyapkan Pemimpin Spiritual Iran Ayatullah Ali Hosseini Khamenei.
Padahal, suka atau tidak suka, apa pun produk politik domestik suatu negara adalah wilayah kedaulatan negara itu yang bukan urusan negara lain.
Netanyahu semakin berbahaya karena gagasan mengganti rezim secara paksa oleh kekuatan eksternal tak pernah bisa menciptakan kebaikan, sebaliknya menghasilkan kehancuran dan disintegrasi tiada ujung.
Libya yang terpecah belah sampai kini dan Afghanistan yang tak pernah bisa disetir oleh AS adalah contoh-contohnya.
Ironisnya, kendati menegaskan tak terlibat dalam serangan Israel ke Iran, Presiden Trump mengamini keinginan Netanyahu itu.
Trump bahkan meminta warga Teheran meninggalkan ibu kota Iran itu sebagai antisipasi terhadap bombardemen yang akan kian dahsyat dari Israel, yang bisa membuat Teheran seperti Gaza dihancurkan Israel.
Pernyataan gegabah Trump itu dikritik China, dengan menyebut pernyataan Trump itu membahayakan upaya deeskalasi konflik Iran-Israel.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun secara eksplisit menyebut memanas-manasi keadaan, melontarkan ancaman, dan meningkatkan tekanan tak akan membantu meredakan situasi karena hal itu malah dapat memperluas konflik.
Perimbangan kekuatan
China justru meminta semua pihak, terutama negara-negara yang memiliki pengaruh khusus terhadap Israel, agar segera mengambil tindakan guna meredakan ketegangan dan mencegah meluasnya konflik.
Masalahnya, apakah para pemimpin Israel mau mendengar seruan itu? Para pemimpin Israel, apalagi Netanyahu, memiliki riwayat panjang dalam membangkang dari seruan global, termasuk dari AS sendiri.
Lihat saja Gaza. Tak ada pihak yang bisa menghentikan Netanyahu melakukan pembumihangusan dan pengusiran paksa di sana.
Dia malah kian agresif menyerang siapa pun yang dianggap anti-Israel, terlebih Iran yang memiliki kemampuan menandingi hegemoni Israel di Timur Tengah.
Tapi semakin maut serangan Iran, semakin senang hati Netanyahu. Kenapa? Karena dengan cara itu dia bisa membuat Israel dianggap korban oleh publik Israel dan AS. Netanyahu mungkin tak peduli pada suara dunia, karena yang dia pedulikan hanya AS.
Kini dia berusaha menyeret AS dalam perang yang dia ciptakan.
Opini publik di AS sendiri terbelah, antara yang pro-Israel dan anti-Iran, dengan mereka yang anti-perang yang merupakan basis pendukung Trump.
Trump pun menjadi ambivalen. Di satu sisi, menolak perang dan menganjurkan perundingan, tapi di sisi lain mengintimidasi Iran agar segera menyepakati kesepakatan nuklir jika tidak ingin melihat serangan Israel yang makin brutal yang akhirnya bisa melibatkan AS.
Iran sendiri, yang kehilangan proksi-proksinya di Timur Tengah, khususnya Lebanon, Hamas dan Suriah, terdesak secara politik.
Negara ini tahu sedang menghadapi Trump yang bermuka dua yang di satu sisi tak ingin kehilangan tempat di meja diplomasi tapi di sisi lain tak mau menyembunyikan apa-apa dari Israel. Iran juga tahu tak banyak negara yang benar-benar mendukungnya, termasuk dari sesama negara Islam.
Di sisi lain, jika melihat apa yang terjadi di Gaza dan riwayatnya yang acap mengesampingkan kesepakatan global, Iran sulit mempercayai Israel.
Apalagi Israel sudah terlalu sering mencampakkan hukum internasional, apalagi jika hal itu menggugat hegemoni mereka.
Tapi hegemoni itu pula yang membuat Israel tak bisa dikoreksi siapa pun. Dan hegemoni, salah satunya tercipta karena tiadanya perimbangan kekuatan.
Dalam konteks ini, perimbangan kekuatan kadang diperlukan guna mencegah satu negara tak semena-mena terhadap negara lain.
Buktinya, perimbangan kekuatan membuat negara-negara nuklir seperti Korea Utara, India dan Pakistan, jarang mengusili daerah sekitarnya pada tingkat Israel menghancurleburkan Gaza atau menyerang Iran serta membunuhi individu-individu penting Iran, khususnya ilmuwan, atau siapa pun di Timur Tengah yang dianggap mengancam hegemoni Israel.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Motif berbahaya Israel dalam konfliknya dengan Iran