Masyarakat NTT harus gemar Konsumsi Sayuran

id Kesehatan

Masyarakat NTT harus gemar Konsumsi Sayuran

Kepala Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Timur Kornelius Kodi Mete

"Stunting" adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.
Kupang (Antara NTT) - Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur mengingatkan masyarakat di provinsi berbasis kepulauan itu untuk gemar mengkonsumsi sayur dan buah-buahan untuk menjaga kesehatan dan menanggulangi masalah gizi.

"Hal ini dilakukan sebagai wujud dari komitmen pemerintah untuk memerangi masalah kurang gizi, khususnya stunting yang mangacu pada Peraturan Presiden No.42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Gizi," kata Kepala Dinas Kesehatan NTT Kornelius Kodi Mete saat ditemui di ruang kerjanya di Kupang, Selasa.

"Stunting" adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.

Stunting sendiri terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun.

Ia mengatakan hal ini berkaitan dengan peringatan Hari Gizi Nasional yang akan diperingati pada Rabu (25/1).

Menurut mantan Bupati Sumba Barat Daya itu, hingga kini jika diprosentasekan konsumsi sayur dan buah di NTT hanya mencapai sekitar 40 persen jika dibandingkan konsumsi daging yang diperkirakan mencapai 60 persen.

"Masih sangat rendah konsumsi buah dan sayur di NTT ini. Budaya kita lebih banyak mengkonsumsi daging. Padahal kalau terlalu banyak konsumsi daging tidak baik untuk kesehatan," ujarnya.

Data dari Kementerian Kesehatan, menunjukan selama tahun 2016 jumlah masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi buah dan sayuran masih rendah, yaitu 57,1 gram per hari dan 33, 5 per orang per hari.

Dalam kelompok sayur, sayuran hijau dikonsumsi paling banyak 79.1 persen dibandingkan sayur lainnya.

Sebaliknya untuk kelompok buah-buahan dan olahan, buah pisang terbanyak dikonsumsi oleh penduduk berjumlah 15,1 persen.

Ia mengatakan untuk memperingati hari Gizi Nasional pada Rabu (25/1), pihaknya akan mengkampanyekan hal tersebut sekaligus membagi-bagi buku panduan bagaimana cara memasak makanan yang bergizi.

"Sebenarnya secara program penyuluhan soal konsumsi sayur dan pembagian buku panduan ini sudah kita lakukan di seluruh kabupaten kota. Dan untuk besok kita akan kembali lakukan untuk mengingatkan masyarakat di NTT," ujarnya.

Gizi buruk
Kodi Mete mengatakan selama periode Januari-Agustus 2016, pihaknya mencatat kurang lebih 2.360 anak di provinsi berbasis kepulauan itu menderita gizi buruk tanpa kelainan klinis.

"Dari jumlah tersebut terdapat satu balita di bawah umur lima tahun yang meninggal dunia dan masih ada kurang lebih 10.662 balita yang mengalami kekurangan gizi," katanya.

Penderitaan yang dialami oleh sejumlah anak di NTT itu, lebih banyak dialami oleh keluarga-keluarga yang berada di pedalaman NTT yang masih sangat sulit terjangkau oleh fasilitas kesehatan untuk memantau kesehatan masyarakat.

Kurangnya gizi ini juga akibat kurang adanya atau rendahnya pemahaman dari ibu terhadap gizi baik kepada dirinya sendiri maupun anak.

"Kemudian masalah pangan yang sehat juga tidak diketahui oleh masyarakat kita sehingga baik pengolahan makanan yang dilakukan itu-itu saja setiap harinya," ujarnya.

Ia mengatakan, kekurangan gizi tersebut dapat mengakibatkan anak atau balita lebih mudah terserah penyakit, seperti diare yang menimbulkan kematian.

Hal tersebut terbukti dengan kejadian gizi buruk (marasmus) yang dialami oleh seorang balita umur tiga tahun lima bulan yang berlokasi di Ende.

Balita bernama Ludisana F. Bunga tersebut meninggal setelah menderita gizi buruk kemudian terserang diare disertai batuk dan kesulitan bernapas atau "pneumonia" berat.

Kasus gizi buruk ini lanjutnya terjadi di hampir seluruh kabupaten wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur.

Kasus gizi buruk terbanyak lanjutnya terjadi di Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan jumlahnya mencapai 310 kasus. Kemudian diikuti oleh Sumba barat daya dengan jumlah 245 kasus, sementara urutan ketiga diikuti oleh Kota Kupang yang mencapai 209 kasus.

Ia menilai penanganan kasus gizi buruk ini selama ini sudah ditangani oleh dinkes-dinkes baik di Provinsi serta Kabupaten Kota. Namun menurutnya untuk menyelasaikan masalah gizi buruk itu diperlukan kerja sama dengan baik.

"Koordinasi dengan instansi kesehatan seperti dengan instansi yang menangani kemiskinan, pertanian dan lainnya. Agar masalah ini dapat diselesaikan," ujarnya.