Kupang (Antara NTT) - Pengamat politik Universitas Muhammadiyah Kupang Dr Ahmad Atang menilai, persepsi publik terhadap jalannya debat putaran kedua calon wali kota dan wakil wali Kota Kupang sangat tidak memuaskan, dan justru membuka ruang meningkatnya angka golput.
"Debat putaran kedua yang mengambil topik tentang politik pemerintahan, penataan birokrasi dan pelayanan publik berdasarkan pengamatan saya, pada sesi pertama agak fokus tapi tidak mendalam," kata kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Senin.
Dia mengemukakan hal itu, ketika diminta pandangan seputar debat terbuka kedua calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Kupang periode 2017-2022 yang digelar pada Kamis, (2/2) malam dan dampaknya terhadap persepsi publik.
Debat kandidat pilkada Kota Kupang putaran kedua itu menghadirkan masing-masing pasangan calon Jefri Riwu Kore-Hermanus Man (Firmanmu) dan pasangan Jonas Salean-Nikolaus Fransiskus (Sahabat).
"Pada sesi pertama debat calon agak fokus tapi tidak mendalam. Kita berharap pada sesi selanjutnya kedua pasangan calon lebih fokus untuk mengelaborasi topik tersebut," katanya.
Namun pada sesi selanjutnya, kedua pasangan calon justru terjebak saling serang dalam bertanya dan menjawab pada hal yang bersifat kasuistik sehingga cenderung masuk ke area privasi.
"Tidak ada hal substansial dari topik tersebut yang dipaparkan oleh masing-masing pasangan calon. Paket Firmanmu selalu menyerang dan paket Sahabat justru mengelak dengan melempar masalah pada wakil dari pasangan dari Firmanmu," katanya.
Karena itu debat putaran kedua menjadi tidak bermutu dan tidak menyentuh akar persoalan mendasar, katanya.
"Artinya, jika dilihat dari dampak debat terhadap pilihan politik publik, maka saya menilai persepsi publik terhadap jalannya debat sangat tidak memuaskan," katanya.
Karena itu, debat putaran kedua pengaruhnya tidak signifikan dan justru membuka ruang meningkatnya angka golput.
Hal ini bisa terjadi karena harapan publik tidak ditemukan pada kedua pasangan calon, baik pada debat pertama mau yang kedua.
Dengan demikian, kedua pasangan calon tidak memberi jaminan perbaikan dan perubahan Kota Kupang, ibukota Provinsi NTT lima tahun ke depan.
Meningkatnya golput juga dipengaruhi oleh adanya massa skeptis, yakni massa yang masih ragu-ragu untuk menentukan pilihan pada dua pasangan calon tersebut.
Fenomena debat kemarin justru memperkuat pemilih skeptis dan boleh jadi menarik massa yang awalnya sudah punya pilihan menjadi massa skeptis. Massa skeptis itu kelas menengah ke atas, kata dosen Sosiologi Antropologi Politik Universitas Muhammadiyah Kupang itu.