Kupang (ANTARA) - Terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memimpikan kehidupan desa yang otonom dalam mengelola pemerintah dan kemasyarakatannya.
Berlakunya regulasi tentang desa membuka harapan bagi masyarakat desa untuk (minimal) berubah, karena hal tersebut akan menjadi momentum dalam mendorong lahirnya desa dengan tata kelola yang lebih akuntabel dan transparan, masyarakat desa yang partisipatif, dan perekonomian desa yang menghidupi.
Nurul Permatasari, dalam sebuah jurnal tentang Badan Usaha menguraikan bahwa gotong royong dan lekatnya nilai-nilai lokal merupakan aset pembangunan perdesaan yang seharus berpengaruh pada percepatan pembangunan ekonomi desa.
Dalam berbagai kajian perekonomian desa, yang tidak boleh dilupakan adalah kondisi modal sosial (social capital) masyarakat desa yang sudah sangat kuat. Masyarakat desa mempunyai beragam ikatan sosial dan solidaritas sosial yang kuat, sebagai penyangga penting kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Swadaya dan gotong royong telah terbukti sebagai penyangga utama otonomi asli desa, walau di satu sisi, kekayaan modal sosial berbanding terbalik dengan modal ekonomi.
Modal sosial masyarakat desa terdiri atas ikatan sosial (social bonding), jembatan sosial (social bridging), dan jaringan sosial (social linking).
Untuk membebaskan ikatan sosial (social bonding) yang terbatas tersebut perlu ada gerakan kemandirian masyarakat desa. Selain memperkuat modal sosial, desa juga harus memperkuat modal ekonomi (financial capital), modal pengetahuan (knowledge capital), dan modal kemanusiaan (human capital).
Masyarakat Desa Mata Air di wilayah Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Provnsi Nusa Tenggara Timur memahami dengan benar tentang landasan dari UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, dan bagaimana menjabarkannya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Banyak faktor yang menjadi penyebab timbulnya masalah ekonomi masyarakat desa seperti tingginya angka pengangguran, minimnya sumber daya manusia, serta kurang kreatifnya masyarakat desa dalam mengolah sumber daya alam.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo pun tidak tinggal diam. Dalama lima tahun, 2014-2019 masa pemerintahannya bersama Jusuf Kalla (JK), berbagai upaya dilakukan pemerintahan Jokowi-JK dalam menanggulangi masalah tersebut, antara lain lewat pengalokasian dana desa (ADD).
Dirjen Pengembangan Daerah Tertentu, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Aisyah Gamawati mengatakan dalam kurun lima tahun ini (2014-2019), Pemerintahan Jokowi-JK telah mengucurkan dana desa sebesar Rp553,97 miliar yang dialokasikan bagi 160 desa di Kabupaten Kupang.
"Kami bersyukur, karena ADD yang dikucurkan untuk 160 desa di Kabupaten Kupang yang berbatasan dengan Oecusse, Timor Leste itu sudah terserap sekitar 99,35 persen dalam lima tahun terakhir," katanya dan menjelaskan tujuan negara dibawa kepemimpinan Presiden Joko Widodo adalah bagaimana meningkatkan kesejahtrakan masyarakat desa-desa se-Nusantara.
Melalui program Nawacitanya, Presiden Joko Widodo telah bertekad untuk membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat wilayah pedesaan. Dalam lima tahun terakhir total dana desa yang sudah terserap sekitar Rp400 triliun yang pemanfaatannya untuk meningkatkan ekonomi dan derajat kehidupan warga.
Dana desa tersebut bersumber dari APBN murni yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer langsung ke rekening masing-masing desa untuk pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Salah satu tujuan dana desa adalah untuk memajukan perekonomian desa. Sehingga mengacu pada hal tersebut, Kepala Desa harus sekreatif mungkin dalam merancang program dan kebijakan yang sebijak mungkin dalam pemanfaatan dana desa tersebut.
Menurut Kepala Desa Air Mata Benyamin Kanuk, selama masa jabatannya dari tahun 2017, ia sudah menganggarkan dana desa untuk dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
BUMDes Ina Huk
Benyamin mengatakan dana desa yang diperoleh harus dikelola dengan memanfaatkan potensi-potensi yang ada di desa agar dapat meningkatkan ekonomi masyarakat Desa Mata Air.
"Saya keliling dari rumah ke rumah, berdialog dengan warga untuk menanyakan, kira-kira aset apa di Desa Mata Air yang dapat dikelola untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bagi masyarakat desa (Mata Air)," ujarnya.
Dari hasil survei yang dilakukan, Benyamin menemukan cukup banyak sumber daya yang ada di Desa Mata Air yang perlu ditata dan dikelola, adalah sektor Pertanian dan Pariwisata. Sehingga dari situlah, dia kemudian membentuk BUMDes yang diberi nama "Ina Huk" untuk mengelola kedua objek tersebut.
Ina Huk, menurut penuturan bahasa Timor artinya satu ibu. Jadi, BUMDes Ina Huk yang telah dibentuk itu, diharapkan menjadi seorang ibu yang dapat menyusui kemudian mengayomi seluruh anak-anaknya di Desa Mata Air agar kelak tumbuh menjadi sejahtera.
Dalam tubuh BUMDes Ina Huk ini terdapat dua unit usaha yang menjadi fokus pengembangannya, yakni unit pertanian dan unit pariwisata. Kepala Desa Mata Air mengaku bahwa dua unit usaha tersebut dipilih karena potensinya cukup menjanjikan bagi masyarakat Desa Mata Air.
"Unit sektor pertanian, kami akan bergerak di bidang penyediaan bibit, pupuk dan obat-obatan, serta penyediaan pakan ternak dan pakan ikan," kata Benyamin.
Sedangkan, pada sektor pariwisata telah dikembangkan Pantai Sulamanda sebagai objek wisata andalan bagi perekonomian masyarakat Desa Mata Air di Kupang Tengah.
Pantai Sulamanda, kini telah menjadi "Ina Huk" bagi Desa Mata Air. Biaya penyertaan modal untuk mengelola pantai Sulamanda menjadi objek wisata andalan, tidaklah sedikit jumlahnya.
"Sejak 2017 sampai sekarang, sudah Rp200 juta kami kucurkan kepada BUMDes Ina Huk sebagai penyertaan modal agar bisa digunakan untuk pengembangan sektor pertanian maupun pariwisata," katanya.
Dari biaya penyertaan modal tersebut, telah dibangun sejumlah fasilitas pendukung pariwisata di objek wisata Sulamanda, seperti gapura, lopo, tempat sampah, toilet, tempat spot foto, dan lapak jualan.
Ada sekitar 18 lapak yang dibangun di sepanjang kawasan obyek wisata pantai Sulamanda yang digunakan masyarakat Desa Mata Air untuk menjual hasil pertaniannya kepada para wisatawan.
"Ramainya pengunjung membuat hasil jualan kami menjadi laris manis," kata Theresia, seorang warga setempat yang kemudian menambahkan bahwa pemasukan juga dari retribusi tiket masuk ke Pantai Sulamanda berdasarkan Perda Kabupaten Kupang, sertapenyewaan toilet umum.
Para remaja Desa Mata Air juga bisa menikmati pundi-pundi rupiah dari jasa pemotretan bagi para pengunjung yang ingin mengabadikan momentum sensual di ujung Sulamanda.
Pantai Sulamanda sekarang sudah memberi pemasukan bagi pendapatan desa sekitar Rp33 juta dalam sebulan. Inilah budi dari seorang BUMDes Ina Huk, ibu yang telah menyusui dan terus menopang ekonomi masyarakat Desa Mata Air.
Artikel - Pantai Sulamanda, "Ina Huk" bagi Desa Mata Air
Pantai Sulamanda, kini telah menjadi "Ina Huk" bagi Desa Mata Air. Biaya penyertaan modal untuk mengelola pantai Sulamanda menjadi objek wisata andalan, tidaklah sedikit jumlahnya.