Akademisi: Tidak Tepat Hidupkan Kembali Wewenang MPR

id Stefanus Johanes Kotan,

Akademisi: Tidak Tepat Hidupkan Kembali Wewenang MPR

Akademisi dari Universitas Nusa Cendana Kupang Dr Yohanes Stefanus Kotan, (Foto Antara)

"Menghidupkan kembali wewenang MPR RI dalam membuat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) justru mengacaukan posisi MPR yang telah ditata secara konstitusional,"
Kupang (Antara NTT) - Akademisi dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Stefanus Johanes Kotan, MHum menilai, tidak tepat menghidupkan kembali kewenangan MPR dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.

"Menghidupkan kembali wewenang MPR RI dalam membuat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) justru mengacaukan posisi MPR yang telah ditata secara konstitusional," kata Stefanus Yohanes Kotan di Kupang, Rabu (5/4)

Dia mengemukakan pandangan itu dalam dialog publik bertema "Urgensi Penataan Sistem Ketatanegaraan Indonesia melalui Perubahan UU Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945".

Kegiatan tersebut diselenggarakan atas kerja sama Badan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan DPD RI dengan Fakultas Hukum Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.

Menurut dia, MPR RI telah direposisi dan kewenangannya juga telah direduksi mengarah pada ketatanegaraan yang konstitusional.

Karena itu, wacana tentang menghidupkan kembali wewenang MPR RI dalam membuat GBHN justru mengacaukan posisi MPR yang telah ditata secara konstitusional.

Dalam hubungan dengan DPD, dia mengatakan, secara konstitusional, UUD 1945 belum memberikan jaminan yang cukup bagi kedudukan dan fungsi DPD dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

DPD diposisikan sebagai salah satu lembaga Negara, namun kedudukan DPD dalam hubungannya dengan MPR masih membingungkan dalam konteks sebagai salah satu kamar dari sistem bikameral yang hendak dikembangkan.

Demikian pula fungsi-fungsi DPD yang terbatas (legislatif dan pengawasan) menyebabkan tidak terciptanya mekanisme `double check and balances` dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Kedepan, kata dia, semestinya dilakukan penataan kewenangan MPR dengan mempertimbangkan paradigma supremasi konstitusi yang dianut dalam ketatanegaraan RI dewasa ini dan posisi MPR sebagai lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya.

Lembaga negara lainnya itu adalah DPR, DPD, Presiden, Mahkamah Agung, Komisi Yudicial, Mahkamah Konstitusi dan Badan Pengawas Keuangan (BPK).

Dengan berpijak pada frame tersebut, maka MPR seyogyanya tampil sebagai lembaga negara dengan memiliki dua kamar yang terdiri dari DPR dan DPD RI dengan mengembangkan sistem "double checks and balances".

Dia mengatakan, semangat reformasi yang masih terus bergulir perlu diwujudkan lebih nyata dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945 dengan melakukan pembenahan kedudukan dan fungsi DPD RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Pembenahan dimaksud juga ditujukan untuk memperkuat kedudukan dan fungsi DPD RI sebagai alternatif saluran kepentingan rakyat di daerah.

Dengan itu diharapkan spirit untuk menjelmakan mekanisme "check and balances" semakin jelas nampak dalam sitem ketatanegaraan Indonesia, kata mantan Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Hukum Undana ini.

Wakili Kepentingan Daerah
Disamping itu ia juga berpendapat, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) semestinya tampil sebagai lembaga yang mewakili kepentingan daerah karena luasnya wilayah Indonesia.

Selain itu, DPD RI dapat juga menjadi pilihan untuk menjawab persoalan keanekaragaman masyarakat Indonesia berdasarkan suku, agama, ras dan antar etnik.


"Keberadaan DPD RI mestinya tampil sebagai lembaga yang mewakili kepentingan daerah, karena luasnya wilayah RI. Selain itu, DPD RI dapat juga menjadi pilihan untuk menjawab persoalan keanekaragaman masyarakat Indonesia berdasarkan suku, agama, ras dan antar etnik," katanya.

Keanekaragaman ini sering ditandai dengan tidak terwakilkan kepentingan tertentu dalam lembaga parlemen (DPR RI).

Alternatif saluran tersebut terkait juga dengan masih banyak kalangan masyarakat "alergi" dengan partai politik, karena selain masyarakat meragukan ideologi yang diusung, tetapi juga karena kompetensi dan perangai warga partai politik tertentu kurang dapat dipercaya dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Namun pengaturan UUD 1945 tentang eksistensi dan wewenang DPD RI justru sebaliknya, yaitu DPD RI sekedar menjadi "patung hiasan" semata.

Karena eksistensinya kabur dan wewenangnya dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak berdaya mengekspresikan fungsi keparlemenan dan perwakilan daerah.

Kekaburan eksistensinya karena di satu sisi diposisikan sebagai lembaga negara, namun di sisi lainnya lembaga ini dianggap sebagai salah satu kamar dari MPR (selain DPR RI) dengan keterwakilannya sebagai anggota, bukan keterwakilan sebagai lembaga DPD RI.

Hal itu terlihat dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 "MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui Pemilu dan diatur lebih lanjut dengan UU", kata mantan Ketua Program Studi pascasarjana Ilmu Hukum Undana itu.