Kupang (Antara NTT) - Ketua Kamar Dagang dan Industri Nusa Tenggara Timur Abraham Paul Liyanto mengatakan disparitas harga komoditas antarwilayah di Tanah Air sebagai akibat dari jarak tempuh sarana transportasi yang digunakan.
"Jarak tempuh sarana transportasi darat, laut dan udara dalam proses perdagangan telah menimbulkan perbedaan harga komoditas dari lokasi proses produksi (pabrik) sampai ke tangan konsumen," katanya ketika dihubungi Antara dari Kupang, Senin.
Anggota DPD RI asal NTT itu dihubungi terkait kewajiban toko ritel modern dan distributor menjual murah tiga bahan pangan yakni gula, minyak goreng dan daging sapi pada tanggal 10 April 2017.
Penjualan murah harga ketiga komoditas tersebut untuk meredam dan mengendalikan inflasidari "volatile food" atau kelompok bahan pangan kerap mengalami fluktuasi harga menjelang hari raya besar keagamaan terutama pada Bulan Ramadhan dan Idul Fitri 1438 Hijriah.
Ia memahami kebijakan itu untuk kebaikan beragama, namun mekanismenya harus diatur dengan baik agar tidak mengorbankan salah satu pihak, karena pengertian disparitas harga tadi.
"Berbeda kalau disparitas harga itu tercipta karena sebab lain, misalnya karena masalah politik dan sebab pembangunan sehingga menyebabkan kesenjangan sosial di antara warga yang satu dengan lainnya dalam satu kesatuan bangsa," katanya.
Menurut dia apabila terjadi demikian (disparitas harga karena faktor pembangunan) maka tentunya pedagang harus mempertimbangkan untuk melaksanakannya.
"Sjak 2009 lalu hingga saat ini pemerintah RI berkonsentrasi memprioritaskan pembangunan kawasan Indonesia Timur merupakan fakta lain yang tidak terbantahkan, namun proses itu terjadi kesenjangan hingga pada disparitas harga merupakan persoalan bersama untuk mencari solusi," katanya.
Apalagi kawasan Indonesia Timur merupakan yang paling banyak daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) sehingga perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat
Ia menyebut harga sejumlah kebutuhan dasar seperti BBM, bahan bangunan, dan bahkan sembako di daerah terpencil, tertinggal dan terluar bisa berlipat-lipat lebih mahal dibanding harga produk/barang yang sama di Pulau Jawa dan Sumatera.
Padahal, tingginya harga kebutuhan di daerah pedalaman Irian dan kawasan Indonesia Timur lain tersebut tidaklah dibarengi dengan besaran "income" (pendapatan) per kapita penduduk setempat, sehingga kemiskinan di kawasan Indonesia Timur semakin merajalela.
Sehingga pemerintah jangan tinggal diam dalam menyikapi permasalahan tersebut. Meski tidak bisa serta-merta bisa diatasi/dientaskan, berbagai program dan kebijakan tengah diluncurkan untuk mengurangi disparitas atau kesenjangan ekonomi antara daerah satu dengan daerah lain.