"Presidential Threshold" Identik dengan Penguatan Parpol

id PT

"Presidential Threshold" Identik dengan Penguatan Parpol

Mikhael Tommy Susu (kanan) saat berlangsungnya sebuah seminar di Kupang. (Foto ANTARA)

Adanya ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold) haruslah diidentifikasi sebagai variabel pengutan partai politik di Tanah Air.
Kupang (Antara NTT) - Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mikhael Tommy Susu mengatakan adanya ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold) haruslah diidentifikasi sebagai variabel pengutan partai politik di Tanah Air.

"Kondisi ini disebabkan karena sistem demokrasi di seluruh dunia tetap memposisikan partai politik sebagai pilarnya demokrasi," katanya kepada Antara di Kupang, Sabtu, sehubungan dengan penetapan ambang batas pencalonan presiden dan kaitannya dengan pembatasan calon presiden.

Menurut dia, konsekuensi dari adanya ambang batas pencalonan presiden adalah untuk membatasi calon presiden.

"Konsekuensi dari presidential threshold adalah pembatasan calon presiden dan memang harus dibatasi. Kalau tidak dibatas maka semua orang bisa saja mengajukan diri sebagai calon presiden," kata peneliti otonomi daerah itu.

Hanya saja, katanya, sistem demokrasi di seluruh dunia tetap memposisikan partai politik sebagai pilarnya, dan dalam peran yang sama parpol sebagai instrumen mobilitas, partisipasi dan pengendali konflik horizontal dari variabel kepentingan dalam masyarakat pluralis.

Karena itu, ambang batas pencalonan presiden maupun ambang batas perolehan suara di parlemen haruslah diidentifikasi sebagai variabel penguatan partai politik.

Dia mengatakan, hanya partai politik yang fungsional dan kuat yang memungkinkan akselerasi sistem politik, pemerintahan juga fungsional dan kuat.

"Menguatnya peran dan fungsi partai politik akan dapat meningkatkan elektabilitasnya dalam pemilu presiden maupun pemilu legislatif," katanya.

Artinya, Presidential Threshold sesungguhnya merupakan variabel independen dari kuatnya peran dan fungsi partai politik, bukan sebaliknya.

Konkritnya adalah Parliamentary Threshold maupun Presidential Threshold harus diposisikan sebagai variabel kunci yang dapat menjadi penentu bagi kuatnya parpol.

Pada saat yang sama, jelasnya, variabel ini juga ditentukan oleh kekuatan parpol. Jadi, jangan memposisikan partai politik hanya sebagai varian independen.

DPR telah menyetujui RUU Penyelenggaraan Pemilu menjadi UU, meski banyak menuai kontroversi yang tampak dari adanya aksi WO sebagian anggota parlemen pada saat pengesahan.

Dalam UU Penyelenggaraan Pemilu yang baru disahkan, syarat Presidential Threshold sebesar 20 persen dari total jumlah kursi di parlemen dan 25 persen dari total jumlah suara sah.