"Kami minta agar hukuman dari BPJS terhadap RS Siloam itu tidak boleh ditimpakan bagi para pasien, karena pasien ini secara rutin sudah membayar premi," ucapnya kepada Antara di Kupang, Jumat.
Ombudsman NTT, kata dia, juga meminta BPJS Cabang Kupang agar memperhatikan dampak yang muncul dari keputusan penghentian ini, terutama kepada para pasien cuci darah (hemodialisa), bedah saraf, dan bedah urologi.
Kondisi ini karena, Rumah Sakit Siloam adalah salah satu Rumah Sakit Tipe B di NTT yang menjadi Rumah Sakit rujukan dari seluruh rumah sakit di kabupaten/kota di NTT.
"Perlu diketahui bahwa khusus bedah urologi, dokter dan segala peralatan untuk urologi hanya ada di RS Siloam, dan tidak ada di Rumah Sakit Prof Dr WZ Johannes Kupang," katanya.
Karena itu Ombudsman NTT meminta BPJS Kesehatan Cabang Kupang untuk mempertimbangkan jika memberlakukan rujukan parsial terhadap tiga pasien ini.
"Kami minta supaya secara teknis harus segera dibicarakan, sehingga tiga pasien ini dapat mendaftar di RS Prof Dr WZ Johannes, lalu dari rumah sakit rujukan milik pemerintah Provinsi NTT itu merujuk kembali ke RS Siloam agar mereka tetap dapat dilayani RS Siloam," katanya.
"Pada intinya kita minta agar ada keadilan bagi masyarakat NTT yang membayar premi sama seperti masyarakat di Jawa dan provinsi lain, yang fasilitas kesehatannya lebih lengkap dengan banyaknya Rumah Sakit tipe A, B, dan seterusnya," katanya.
Provinsi NTT hanya mempunyai dua rumah sakit yang maksimal bertipe B, jangan sampai orang NTT membayar premi, tapi preminya hanya dinikmati masyarakat di Pulau jawa yang FasKesnya lebih lengkap, katanya.
Darius Beda Daton menambahkan, pihaknya akan selalu monitor dan memantau perkembangannya pasca penghentian kerja sama pada 31 Desember 2017.
"Hasil monitoring ini akan disampaikan kepada BPJS Kesehatan dan R.S Siloam jika ada hal-hal yang mengganggu pelayanan kepada pasien," katanya menjelaskan.