Surat-surat Sjahrir kepada Maria menjadi medium untuk mencurahkan perasaan dan pemikiran sang diplomat. Dalam suratnya, Sjahrir kerap mengkritik ketidakadilan kolonial dan menggambarkan penderitaan rakyat Indonesia.
Salah satu surat Sjahrir menggambarkan desa miskin di Jawa:
"Desa ini terlihat begitu kaya dengan sawah hijau, tetapi penduduknya hanya makan sekali sehari. Dari 3.000 orang, hanya satu keluarga yang memiliki tanah lebih dari dua bau. Yang lain hidup dari hasil tanah yang nyaris tidak cukup untuk bertahan." (28 September 1932).
Kisah ini menyoroti ironi antara keindahan alam Indonesia dan kemiskinan yang merajalela akibat eksploitasi kolonial. Sjahrir juga mencatat beban yang ditanggung oleh perempuan desa, yang bekerja keras membawa hasil panen ke pasar untuk penghasilan kecil.
Dalam surat-suratnya, Sjahrir mencerminkan kekagumannya pada dinamisme Barat, yang ia kaitkan dengan Maria.
Maria, meski mendukung perjuangan Sjahrir, tetap dianggap menjadi bagian dari bangsa penjajah, yang membuat hubungan mereka dipandang penuh kontradiksi.
Selama masa kebebasannya sebelum ditangkap pada 1934, Sjahrir sering bepergian ke berbagai wilayah Jawa untuk mengorganisasi partainya, Pendidikan Nasional Indonesia (PNI).
Ia mengamati kehidupan perdesaan dengan sudut pandang antropologis, mencatat ketimpangan sosial, etnisitas, dan gender.
Ia mengkritik bangsawan Jawa yang hidup nyaman dalam kolaborasi dengan pemerintah kolonial, menyebut mereka "terdegradasi" dibandingkan rakyat desa yang ia anggap memiliki potensi revolusioner.
Sjahrir juga menunjukkan kebenciannya pada ketidakadilan kolonial yang mewabah, seperti di penjara Cilacap, tempat ia mencatat perlakuan buruk dan makanan yang tidak layak bagi tahanan.
Ia menyebut kolonialisme sebagai sistem yang merampas kemanusiaan, baik secara fisik maupun spiritual.
Setelah ditangkap, Sjahrir diasingkan ke Boven-Digoel dan kemudian Banda Naira. Meski terisolasi, ia terus menulis kepada Maria, mencatat pengamatan tentang budaya lokal dan mendalami pemahaman lintas budaya.
Kompleksitas politik yang memanas termasuk meletusnya perang dunia perlahan memaksa Sjahrir untuk berhenti mengirimkan surat cinta kepada Maria.
Ketika Perang Dunia II meletus, Belanda diduduki pasukan Nazi Jerman sehingga seluruh korespondensi terputus. Mulai dari 1931--1940, Maria menerima 287 surat dengan panjang antara 4--7 halaman dari Sjahrir.
Maria sempat berpikir untuk membakarnya, namun mengurungkan niatnya. Ia dengan dibantu suaminya yang juga adik Sjahrir, Sutan Sjahsyam, justru memutuskan membukukan fragmen-fragmen surat itu dengan judul Indonesische Overpeinzingen, diterbitkan di Amsterdam pada 1945 di bawah nama samaran Sjahrazad.
Jika ditilik kembali surat cinta Sjahrir kepada Maria, banyak yang mencerminkan komitmen pada nilai-nilai humanisme, di mana ia memandang semua manusia setara, terlepas dari asal-usul mereka.
Baca juga: Resensi - Perjalanan cinta sang penulis di "Jatuh Cinta Seperti Di Film-Film"
Surat-surat kepada Maria itu tidak hanya menunjukkan cinta pribadi, tetapi juga dedikasi pada perjuangan kolektif untuk kemerdekaan.
Kisah Sjahrir dan Maria ini ibarat pelajaran tentang cinta yang berakar pada perjuangan, tetapi tidak selalu dapat bertahan melawan tekanan realitas.
Baca juga: Artikel - Menyingkap romantisme semu para pemuja pada idola
Cinta mereka menjadi simbol dari hubungan lintas budaya yang kompleks, yang memperkaya, namun penuh tantangan.
Surat-surat Sjahrir juga memberikan gambaran mendalam tentang sisi manusiawi seorang tokoh besar, yang meskipun berjuang untuk bangsanya, tetap seorang manusia yang mencintai dan merindu.
Mengingatkan bahwa Sjahrir, The Smiling Diplomat dan The Gentle Revolutionary, juga seorang manusia.
Editor: Achmad Zaenal M