Jakarta (ANTARA) - Penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) menjadi sinyal kebijakan yang menarik untuk dikaji lebih dalam.
Dengan skema baru yang menjamin pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) menerima 60 persen dari upah selama enam bulan, regulasi ini tampak sebagai angin segar bagi buruh yang selama ini kehilangan posisi tawar mereka akibat implementasi Undang-Undang Cipta Kerja.
Namun, pertanyaannya adalah apakah kebijakan ini benar-benar menjadi solusi jangka panjang atau sekadar tambal sulam atas persoalan mendasar yang lebih kompleks?
Jika melihat latar belakangnya, sejak UU Cipta Kerja diberlakukan, hak pesangon buruh berkurang siginifikan.
Dari yang sebelumnya bisa mencapai 32 kali upah dalam UU Ketenagakerjaan, kini maksimal hanya 19 kali upah, dengan tambahan JKP dari BPJS Ketenagakerjaan yang sebelumnya hanya menjamin 45 persen dari upah dalam tiga bulan pertama dan 25 persen dalam tiga bulan berikutnya.
Ini menimbulkan keresahan di kalangan buruh karena membuat perlindungan kerja semakin rapuh di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Dalam konteks ini, PP Nomor 6 Tahun 2025 memberikan sedikit ruang bernapas bagi pekerja yang terkena PHK dengan skema baru yang lebih baik dibanding regulasi sebelumnya.
Namun, jika dicermati lebih jauh, ada beberapa tantangan yang harus diantisipasi. Pertama, keberlanjutan pendanaan skema JKP ini perlu mendapat perhatian serius. Apakah dana JKP cukup kuat untuk membiayai kompensasi selama enam bulan ke depan jika terjadi gelombang PHK massal?
Jika dana ini sepenuhnya berasal dari iuran BPJS Ketenagakerjaan, maka perlu dipastikan bahwa jumlah peserta, tingkat kepatuhan pembayaran iuran, serta kebijakan investasi BPJS mampu menopang program ini dalam jangka panjang tanpa membebani APBN atau menimbulkan defisit.
Transparansi pengelolaan dana ini akan menjadi krusial agar kebijakan ini tidak berakhir sebagai beban keuangan yang sulit dikendalikan.
Kedua, perlu ada penguatan aspek pengawasan agar kebijakan ini tidak disalahgunakan oleh perusahaan untuk melakukan PHK dengan lebih mudah.
Dalam beberapa kasus, ada indikasi bahwa kebijakan seperti ini justru mendorong dunia usaha untuk lebih berani mengambil keputusan PHK karena mereka tahu bahwa pekerja tetap mendapatkan kompensasi.
Hal ini bisa menjadi efek negatif jika tidak diimbangi dengan aturan ketat mengenai mekanisme PHK yang adil serta sanksi bagi perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja secara sewenang-wenang.
Regulasi ini akan lebih kuat jika disertai kebijakan tambahan yang mewajibkan perusahaan untuk memiliki rencana restrukturisasi tenaga kerja yang transparan dan terukur sebelum melakukan PHK.
Ketiga, efektivitas program pelatihan yang dijanjikan dalam skema JKP masih menjadi tanda tanya besar. Dalam berbagai program sebelumnya, pelatihan sering kali hanya menjadi formalitas dengan hasil yang minim bagi pekerja.
Pelatihan yang benar-benar berdampak harus disesuaikan dengan kebutuhan industri masa depan, terutama yang berbasis teknologi dan ekonomi digital.
Jika tidak, maka program ini hanya menjadi mekanisme seremonial yang tidak membawa manfaat nyata bagi buruh yang terdampak PHK.
Ada baiknya jika pemerintah bekerja sama dengan industri untuk menyediakan pelatihan berbasis keterampilan yang relevan dan langsung menghubungkan peserta dengan peluang kerja baru.
Keberpihakan Pemerintah
Dari perspektif ekonomi makro, kebijakan ini juga bisa menjadi instrumen penting dalam menjaga daya beli masyarakat.
Dalam situasi ekonomi yang tidak menentu, mempertahankan daya beli adalah faktor kunci untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tetap stabil.
Dengan adanya skema kompensasi yang lebih baik, konsumsi rumah tangga bisa tetap terjaga, sehingga aktivitas ekonomi tidak langsung anjlok akibat meningkatnya angka pengangguran.
Namun, ini harus diimbangi dengan kebijakan yang mendorong penciptaan lapangan kerja baru agar jumlah penerima manfaat JKP tidak terus bertambah tanpa ada perbaikan fundamental di sektor ketenagakerjaan.
Solusi konkret yang bisa diterapkan untuk memastikan efektivitas kebijakan ini adalah dengan memperkuat sistem peringatan dini terhadap potensi PHK massal.
Pemerintah harus memiliki mekanisme pemantauan terhadap industri-industri yang berisiko tinggi mengalami perlambatan agar bisa mengambil tindakan pencegahan sebelum gelombang PHK terjadi.
Selain itu, insentif pajak bagi perusahaan yang mempertahankan tenaga kerja di tengah ketidakpastian ekonomi bisa menjadi strategi yang lebih efektif dibanding hanya memberikan kompensasi pasca-PHK.
Selain itu, revisi terhadap skema JKP juga bisa mempertimbangkan model berbasis insentif. Misalnya, perusahaan yang tidak melakukan PHK selama periode tertentu bisa mendapatkan insentif berupa pengurangan kontribusi BPJS atau subsidi upah parsial dari pemerintah.
Dengan begitu, kebijakan ini tidak hanya berfokus pada mengatasi dampak PHK, tetapi juga mendorong perusahaan untuk lebih bertanggung jawab dalam menjaga stabilitas ketenagakerjaan.
Dalam jangka panjang, kebijakan ketenagakerjaan yang ideal harus berorientasi pada penciptaan sistem yang memberikan keseimbangan antara perlindungan tenaga kerja dan fleksibilitas industri.
Jika hanya berfokus pada memberikan kompensasi pasca-PHK, tanpa memperkuat mekanisme pencegahan dan peningkatan keterampilan tenaga kerja, maka regulasi ini hanya akan menjadi solusi sementara yang tidak menyentuh akar permasalahan.
Pemerintahan Prabowo Subianto memiliki peluang besar untuk memperkuat warisan kebijakan pro-buruh dengan menjadikan PP Nomor 6 Tahun 2025 sebagai langkah awal menuju reformasi ketenagakerjaan yang lebih berkelanjutan.
Menurut Ketua Umum DPP KSPSI Moh Jumhur Hidayat, penerbitan PP Nomor 6 tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang mulai berlaku 7 Februari 2025 jauh lebih baik dari PP sebelumnya. Setidaknya ada kepastian buruh menerima uang tunai sebesar 60 persen dari upah terakhir selama 6 bulan.
Ketentuan ini dinilai jauh lebih menguntungkan dan akan bermanfaat untuk menjaga daya beli buruh dalam 1 semester sekaligus mempertahankan derajat kehidupan yang layak bagi buruh yang kehilangan pekerjaan.
Selanjutnya Jumhur menjelaskan bahwa Pemerintahan Prabowo Subianto, sejauh ini menunjukkan keberpihakan kepada orang-orang lemah termasuk kaum buruh.
“Membela kaum yang lemah itu bukan berarti menafikkan dunia usaha. Justru sebaliknya bersama-sama dunia usaha membangun kegiatan ekonomi yang menguntungkan dan memberi manfaat untuk banyak orang,” kata Jumhur.
Maka ke depan diperlukan upaya nyata untuk memastikan bahwa program pro-buruh benar-benar mampu memberikan manfaat jangka panjang, bukan sekadar respons populis sesaat.
Dengan begitu, keberpihakan kepada buruh bisa menjadi strategi ekonomi yang tidak hanya menenangkan masyarakat, tetapi juga memperkuat daya saing nasional dalam jangka panjang.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menelaah efektivitas regulasi baru soal PHK