Yogyakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto menegaskan bahwa lembaganya tetap bisa melakukan penyelidikan tertutup dan membongkar praktik tindak pidana korupsi di berbagai daerah, meski jumlah personel lembaga antirasuah itu terbatas.
"Kami bisa berada di mana saja. Meskipun jumlah kami sedikit, tetapi kami bisa selektif prioritas menempatkan beberapa orang," kata Setyo dalam acara Rapat Koordinasi Wilayah Penguatan Integritas dan Pemantapan Sistem Pencegahan Korupsi Pasca-Pelantikan Kepala Daerah di Jogja Expo Center (JEC), Yogyakarta, Rabu.
Rakor bersama KPK itu diikuti kepala daerah di wilayah DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
"Saya mengingatkan kepada bapak ibu semuanya, di mana pun berada, di mana pun tempatnya, di mana pun provinsinya, di mana pun kabupaten/kotanya, KPK bisa berada di situ," ucap Setyo.
Setyo mengatakan operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat pejabat di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, beberapa hari lalu membuktikan bahwa KPK mampu menjangkau siapa pun dan di mana pun.
Meski lokasi Kabupaten OKU cukup jauh dari ibu kota Provinsi Sumatera Selatan, penyidik KPK tetap bisa
menjangkau dan menangkap para pelaku.
"Tempatnya pun jauh, beberapa jam dari ibu kota provinsi, gitu, tetapi tetap terbaca oleh KPK," katanya.
Kasus dugaan korupsi atau suap itu mencuat setelah anggota DPRD diduga meminta jatah anggaran pokok pikiran (pokir) dalam pembahasan APBD tahun 2025.
KPK menemukan bahwa jatah pokir yang seharusnya untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat dikonversi menjadi proyek fisik Dinas PUPR Kabupaten OKU dengan imbalan fee sebesar 20 persen dari total anggaran sekitar Rp35 miliar.
"Pokir ini sebenarnya urusan sepele, hanya mengakomodasi aspirasi masyarakat melalui legislatif. Tapi, kalau disalahgunakan, itulah yang bermasalah," ujar Setyo.
Menurut Ketua KPK, kasus suap proyek di Kabupaten OKU hanyalah bagian kecil dari fenomena korupsi yang lebih luas.
Ia mengatakan bahwa praktik korupsi di Indonesia ibarat fenomena gunung es yang terlihat sebagian kecil di permukaan, namun di bawahnya masih banyak praktik korupsi lain, seperti suap dalam pengadaan barang dan jasa, jual beli jabatan, hingga penyalahgunaan wewenang dalam perizinan.
"Sering kali muncul praktik eksklusif, orang dalam, jual beli jabatan, makelar proyek, dan sebagainya. Kalau itu enggak ada keterlibatan orang dalam, nol, enggak bakal jalan," ujarnya.
Setyo juga menambahkan sistem pengadaan barang dan jasa masih bisa dimanipulasi meskipun pemerintah terus berupaya memperbaikinya, termasuk dengan pembaruan e-katalog versi 6 yang dibuat Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
"Mau sistemnya diperbaiki seperti apa pun, kalau masih ada yang main pintu belakang, tetap saja ada celah untuk korupsi," katanya.
Setyo kembali menegaskan bahwa KPK tidak hanya beroperasi di pusat pemerintahan, tetapi juga aktif mengawasi daerah sehingga kasus korupsi di Kabupaten OKU bisa menjadi alarm bagi daerah lain agar lebih berhati-hati dalam mengelola anggaran.
"Mudah-mudahan yang di Kalimantan Selatan, Barat, Tengah, Jawa Timur, DIY, dan Jawa Tengah, enggak ada," ujarnya.
Menurut Setyo, jika perencanaan dan penganggaran di setiap daerah dilakukan dengan baik serta diawasi secara ketat, peluang terjadinya korupsi bisa diminimalkan.
"Kalau penganggarannya sudah ada aturannya, perencanaannya bagus, paling tidak jalan ceritanya akan lebih baik," katanya.
Oleh karena itu, Setyo juga mendorong para kepala daerah memperbaiki pengelolaan anggaran daerah untuk meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia.
"Perbaikan sistem anggaran dan pengawasan yang lebih ketat akan berkontribusi pada peningkatan IPK, yang sangat dipengaruhi oleh faktor demokrasi, politik, ekonomi, dan keamanan," tuturnya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Personel terbatas, KPK tegaskan mampu selidiki korupsi di berbagai daerah