BI Kembangkan Lima Klaster Komoditas di NTT

id Klaster

BI Kembangkan Lima Klaster Komoditas di NTT

Kepala BI Kantor Perwakilan NTT Naek Tigor Sinaga

"Di sisi lain, pengembangan klaster komoditas tersebut juga untuk mengendalikan inflasi komponen bergejolak (volatile food)," kata Naek Tigor Sinaga.
Kupang (Antara NTT) - Bank Indonesia Kantor Pewakilan Nusa Tenggara Timur tengah mengembangkan lima klaster komoditas di wilayah provinsi berbasis kepulauan ini untuk mendorong perluasan usaha bagi kelompok usaha mikro kecil dan menengah (UKMK).

"Di sisi lain, pengembangan klaster komoditas tersebut juga untuk mengendalikan inflasi komponen bergejolak (volatile food)," kata Kepala BI Kantor Perwakilan NTT Naek Tigor Sinaga kepada Antara di Kupang, Kamis.

Ia menjelaskan "volatile food" adalah inflasi yang dominan dipengaruhi oleh kejutan (shocks) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun internasional.

Atas dasar itu, BI akan mendorong perluasan dan pengembangan klaster pengendalian inflasi berbasis UMKM dengan pendekatan hilirisasi.

Kelima klaster komoditas yang dikembangkan BI tersebut adalah klaster padi di Kabupaten Manggarai Barat, klaster sapi di Kota Kupang dan Kabupaten Malaka, klaster cabai di Kabupaten Kupang, serta klaster bawang merah di Kabupaten Belu.

"Ini merupakan bentuk apresiasi dari Gubernur Bank Indonesia kepada kelompok peternak Bero Sembada di Kabupaten Malaka, salah satu klaster binaan BI Kantor Perwakilan NTT yang telah diberi penghargaan beberapa waktu lalu," ujarnya.

Kelompok ini, katanya, telah berhasil merubah pola pikir kelompok ternak sapi yang semula bersifat tradisional menjadi terintegrasi melalui usaha penggemukan sapi yang menyatu dengan kegiatan bercocok tanam dan penggunaan kotoran sapi menjadi biomasa.

Dengan perubahan mindset tersebut, anggota kelompok peternak sapi Bero Sembada telah berhasil mengakses pembiayaan dari perbankan dengan total kredit mencapai Rp500 juta.

"Dalam upaya mendorong produk unggulan daerah terutama kerajinan tenun ikat, kami juga telah memberikan dukungan berupa bantuan teknis serta sarana produksi kepada beberapa kelompok pengrajin," kata Sinaga.

Ia mengatakan jika dilihat secara kumulatif dari bulan Januari hingga November 2016 (year to date - ytd), angka inflasi NTT tercatat hanya sebesar 0,55 persen atau jauh lebih rendah dibandingkan inflasi nasional yang mencapai 2,59 persen.

Inflasi kumulatif tersebut merupakan pencapaian terendah ke-2 secara nasional setelah Provinsi Sulawesi Tengah yang hanya mencatat inflasi 0,34 persen.

"Pencapaian inflasi yang rendah tersebut tidak terlepas dari terkendalinya laju kenaikan harga di Provinsi NTT. Di sepanjang tahun 2016, terjadi lima kali deflasi, yaitu pada bulan Februari, Maret, Juli, Agustus dan September," katanya.

Pergerakan harga komoditas pangan seperti ikan segar dan sayur-sayuran yang cenderung menurun, serta ditunjang oleh stabilnya harga beras dan bahan bakar minyak merupakan penyebab utama rendahnya inflasi di tahun tersebut.

Namun demikian, katanya, pergerakan inflasi yang secara historis cukup tinggi di akhir tahun, sebagai dampak meningkatnya permintaan menjelang perayaan Natal dan liburan Tahun Baru 2017, serta menurunnya pasokan beberapa komoditas akibat faktor cuaca buruk.