160.000 rumah tangga di Indonesia masih hidup dalam keremangan

id sambungan listrik

160.000 rumah tangga di Indonesia masih hidup dalam keremangan

Menteri ESDM Ignasius Jonan memberikan kata sambutan dalam diskusi energi di Jakarta, Selasa (2/4/2019). (ANTARA FOTO/M Razi Rahman)

"Ada sekitar 160.000 rumah tangga yang membutuhkan biaya sambung listrik, dan mereka masih hidup dalam keremangan. Ini mungkin jumlahnya sekitar 600.000 jiwa," kata Ignasius Jonan.
Jakarta (ANTARA) - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyatakan masih ada sekitar 160.000 rumah tangga di berbagai kawasan Nusantara yang membutuhkan sambungan listrik karena mereka tidak bisa membiayainya.

"Ada sekitar 160.000 rumah tangga yang membutuhkan biaya sambung listrik, dan mereka masih hidup dalam keremangan. Ini mungkin jumlahnya sekitar 600.000 jiwa," kata Ignasius Jonan dalam acara diskusi "Energi untuk Kedaulatan Negeri" di Jakarta, Selasa (2/4).

Menurut Jonan, hingga saat ini masih banyak warga yang tidak mampu untuk membayar biaya pasang-sambung listrik sebesar Rp550.000 sehingga hal ini merupakan salah satu tantangan yang besar.

Menteri ESDM menegaskan bahwa tugas pemerintah adalah agar mengatur bagaimana hasil sumber daya alam yang terdapat di bumi Nusantara dapat dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sesuai Pasal 33 UUD 1945.

Sebagaimana diwartakan, peningkatan konsumsi listrik dalam rangka melesatkan produktivitas dan inovasi di berbagai sektor perekonomian di Tanah Air dinilai merupakan upaya yang layak dilakukan agar Indonesia dapat lolos dari fenomena perangkap negara berpendapatan menengah.

"Kerap disebut bahwa agar kita bisa naik dari middle income trap, konsumsi listrik harus naik 2-3 kali lipat," kata Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa di Jakarta, Senin (1/4).

Baca juga: Pemanfaatan listrik dari EBT sudah mencapai 14,68 MW

Apalagi, Fabby Tumiwa mengingatkan bahwa pertumbuhan perekonomian Indonesia selama beberapa tahun terakhir masih relatif stagnan, begitu pula dengan pendapatan PDB yang masih sekitar 3.500 dolar AS/kapita.

Belum lagi, ujar dia, permasalahan lainnya yaitu defisit neraca perdagangan yang semakin melebar yang juga salah satu sebab melebarnya defisit tersebut adalah karena impor BBM.

"Kita menarik impor BBM besar, tetapi kita menguranginya dengan ekspor batu bara (sebagai salah satu komoditas andalan ekspor Indonesia selain minyak kelapa sawit)," katanya.

Padahal, ia menyebutkan bahwa sebagian besar atau sekitar 90 persen dari konsumsi batu bara di tingkat domestik atau dalam negeri adalah untuk kebutuhan pembangkit listrik.

Sebagaimana diketahui, konsumsi listrik Indonesia meningkat sekitar 26 persen pada jangka waktu empat tahun terakhir, dari 812 kWh per kapita pada 2014 menjadi 1.021 kWh per kapita pada 2017.

Baca juga: PLN tambah pembangkit listrik EBT di Pulau Flores
Baca juga: Pemakaian energi listrik di NTT tumbuh sekitar 8,4 persen