Atambua, (ANTARA NTT) - Hembusan angin dingin cukup terasa di siang yang terik itu, ketika Komandan Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Dansatgas Pamtas) RI-Timor Leste Mayor Inf FX Hengki Yudha Setiawan hendak membuka Festival Layang-Layang, Rabu (26/12).
Festival tersebut dilangsungkan di Desa Looluna, Kecamatan Lamaknen Selatan, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur yang berapitan langsung dengan Desa Taroman Suai di Distrik Kovalima, Timor Leste, sebagai salah satu upaya dari TNI untuk membangkitkan rasa nasionalisme warga yang bermukim di tepian persada nusantara.
Desa Looluna yang berjarak sekitar 80 km selatan Atambua, ibu kota Kabupaten Belu itu, harus ditempuh selama dua jam lebih perjalanan dengan kendaraan roda empat, karena tapak-tapak jalan menuju ibu kota Kecamatan Lamaknen Selatan itu belum tersentuh siraman aspal sejak Indonesia merdeka.
Ketika malam tiba, desa itu bagai "tak bertuan" karena berselimutkan kegelapan total. Yang tampak hanyalah lampu-lampu pelita dari rumah penduduk yang berjumlah sekitar 346 kepala keluarga (KK).
Belum ada jaringan listrik dari perusahaan listrik negara (PLN) maupun listrik tenaga surya yang masuk ke desa tersebut, seperti halnya dengan sebagian besar desa-desa lain yang berbatasan langsung dengan negara Timor Leste.
Guna membangkitkan rasa nasionalisme warga dari ketertinggalan dan keterpurukan pembangunan nasional, Dansatgas Pamtas RI-Timor Leste yang juga Danyon 312/Kala Hitam Siliwangi Mayor Inf FX Hengki Yudha Setiawan kemudian merancang Festival Layang-Layang sebagai hiburan Natal bagi warga negara Indonesia yang bermukim di tapal batas negeri.
Festival Layang-Layang yang melibatkan 350 buah layang-layang itu berlangsung setelah umat Katolik dan para prajurit TNI dari 312/Kala Hitam Siliwangi yang seiman, merayakan ibadah Natal kedua di sebuah kapel yang terletak di desa tersebut.
Yudha Setiawan dengan rendah hati mengatakan kegiatan tersebut digagas oleh Satgas Pamtas RI-Timor Leste dari Yonif 312/Kala Hitam Siliwangi untuk mendorong masyarakat di tapal batas itu untuk menggali potensi-potensi yang dimiliki sebagai daya tarik bagi negara tetangga Timor Leste.
"Festival Layang-Layang ini, kami harapkan menjadi daya dorong sekaligus untuk memancing warga Timor Leste untuk memalingkan pandangannya untuk berkunjung ke wilayah kita, karena hanya berjarak sekitar 60 km utara dari Distrik Kovalima," ujarnya.
Desa Looluna memiliki pemandangan alam yang fantastis sehingga bisa dikembangkan menjadi sebuah obyek wisata. Obyek wisata alam nan asri ini bisa diisi dengan festival seperti itu (layang-layang) atau festival budaya yang bisa mendatangkan uang bagi kepentingan masyarakat di wilayah perbatasan itu.
"Rasa nasionalisme warga kita di tapal batas harus terus didorong dengan berbagai macam cara, agar mereka tetap merasa menjadi bagian dari Indonesia Raya. Semangat mereka harus terus dipacu dengan berbagai aneka kegiatan sehingga mendorong minat warga dari negeri seberang untuk berkunjung ke sana," ujarnya.
Mayoritas penduduk di desa perbatasan itu menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian, seperti jagung, kemiri dan kopi. Sebagian kecil penduduk menggantungkan hidupnya dari sektor peternakan seperti memelihara ternak sapi dan kuda untuk menopang kebutuhan ekonomi keluarga.
Untuk merubah pola pikir masyarakat yang secara turun-temurun hanya mengandalkan hidupnya dari sektor pertanian dan peternakan, agaknya membutuhkan waktu yang lama, karena pola hidup semacam itu sudah melekat dengan jiwa mereka.
"Kita harus berani untuk melakukan perubahan agar masyarakat kita tidak hanya terpaku pada salah satu sektor yang menjadi tumpuan hidupnya, tetapi bisa mampu mengembangkan sektor lainnya untuk memperkuat fondasi ekonomi keluarga," katanya.
Menurut dia, potensi pariwisata di wilayah pedesaan tersebut cukup menjanjikan sehingga bisa dikembangkan guna memancing minat warga Timor Leste dari Distrik Kovalima berkunjung ke Lamaknen Selatan.
Festival Layang-Layang yang digelar pada perayaan Natal kedua, 26 Desember 2012 di Desa Looluna, sebagai salah satu upaya membangkitkan nasionalisme warga di tapal batas, juga untuk memancing minat warga Kabupaten Belu menyaksikan festival tersebut.
Camat Lamaknen Selatan Yosef Bere Lelo menyatakan terkesima dengan gagasan brilian yang dilontarkan Dansatgas Pamtas RI-Timor Leste untuk menjadikan momentum tanggal 26 Desember setiap tahun sebagai penyelenggaraan Festival Layang-Layang di Desa Looluna.
"Saya mendukung gagasan tersebut, karena akan memberikan nilai tambah bagi masyarakat di wilayah Lamaknen Selatan. Prajurit TNI dari Yonif 312/Kala Hitam sudah meletakkan landasan pengembangan sektor pariwisata lewat festival ini, tinggal kami meneruskan festival tersebut setiap 26 Desember," katanya.
Camat Bere Lelo mengaku bahwa di wilayah Lamaknen Selatan memiliki panorama alam yang indah untuk dijadikan sebagai obyek wisata, namun potensi ini belum digarap sebagai salah satu sumber penghasilan bagi pendapatan asli kecamatan.
"Jika festival layang-layang ini sudah menjadi agenda wisata tahunan, saya optimistis akan dengan sendirinya akan memperkenalkan obyek wisata yang ada di Lamaknen Selatan ke seluruh penjuru dunia lewat sarana media massa," ujarnya.
Festival Layang-Layang yang diprakarsai Satgas Pamtas RI-Timor Leste, tidak hanya sekadar membangkitkan rasa nasionalisme warga di tapal batas negeri, tetapi telah merentas jalan baru menuju pembangunan sektor pariwisata untuk mencuri minat wisatawan dari Timor Leste melirik ke seberang.