Antropolog: Perlu Satu PLBN di Oepoli

id PLBN

Antropolog: Perlu Satu PLBN di Oepoli

Antropolog Budaya Pater Gregor Neonbasu SVD

Dengan adanya pos lintas batas, masyarakat kedua negara yang berbeda dapat membanggakan wilayahnya dan tidak seenaknya melintas tanpa melihat batas secara jelas.
Kupang (Antara NTT) - Antropolog budaya dari Universitas Widya Mandira (Unwira) Kupang Pater Gregor Neonbasu SVD, PhD mengharapkan pemerintahan Presiden Jokowi dapat membangun sebuah Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di Oepoli yang berbatasan langsung dengan Distrik Oecusse, Timor Leste.

"Daerah Oepoli di wilayah Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur yang berbatasan langsung dengan Distrik Oecusse, Timor Leste itu masih rentan dengan berbagai persolan sosial dan pembangunan," katanya saat dihubungi Antara di Kupang, Jumat (24/3).

Ketua Ketua Dewan Riset Daerah (DRD) Nusa Tenggara Timur itu mengatakan persoalan tapal batas di wilayah kantung (enclave) di Naktuka seluas 1.069 hekatare saat ini masih belum tuntas, bahkan masyarakat makin diresahkan dengan masuknya warga Timor Leste yang mulai membangun permukiman di Naktuka.

Selain itu, infrastruktur penunjang kebutuhan dasar masyarakat seperti air, jalan, dan listrik bagi masyarakat setempat masih jauh tertinggal dibandingkan masyarakat di negara tetangga Timor Leste.

Walau secara antropologis, kata Neonbasu, keluarga-keluarga di tapal batas itu, baik Timor Leste maupun Indonesia, memilki hubungan keluarga yang sangat erat, kehadiran PLBN di daerah setempat sangat dibutuhkan untuk mempercepat laju pembangunan.

"Sebetulnya, sudah lama kita menginginkan adanya PLBN yang bermartabat dibangun di Oepoli sehingga keluarga kita di tapal batas secepatnya lepas dari ketertinggalan," katanya lagi.

Menurut dia, hadirnya PLBN yang bermartabat akan menunjukkan wibawa bangsa dan negara di daerah-daerah tapal batas dengan negara tetangga.

Ia mencontohkan sejumlah PLBN yang sudah dibangun dengan megah dan bermartabat oleh pemerintahan Presiden Jokowi, seperti di Mota Ain, Kabupaten Belu, Motamasin di Kabupaten Malaka dan Wini di Kabupaten Timor Tengah Utara.

Meskipun demikian, wilayah batas negara secara langsung tidak hanya di tiga kabupaten tersebut, tetapi juga di Oepoli, Kabupaten Kupang yang juga perlu dipikirkan untuk membangun sebuah PLBN di sana.

"Tapal batas memang harus diperhatikan karena menunjuk hakikat bangsa dan jati diri negara yang memiliki kawasan dan wilayah yang jelas," katanya.

Dengan adanya pos lintas batas, menurut dia, masyarakat kedua negara yang berbeda dapat membanggakan wilayahnya dan tidak seenaknya melintas tanpa melihat batas secara jelas.

Selain itu, kata dia, warga Indonesia pun di perbatasan makin percaya diri dan dapat mengklaim secara tepat dan benar akan wilayahnya.

Terkait dengan lahan yang masih disengketakan di Naktua itu, Neon Basu menilai masih ada klaim sepihak dari warga Timor Leste yang kurang memahami sejarah wilayah tersebut.

Untuk itu, pemerintah Indonesia perlu membuat sebuah studi kawasan perbatasan dengan mengkaji "alasan antropologis" dari kekerabatan keluarga-keluarga di daerah tapal batas.

"Untuk menentukan batas negara secara tepat di Oepoli, libatkan para tua adat dari kedua belah pihak, biarkan mereka menjalani ritus sesuai dengan warisan budaya dan tradisi mereka yang sangat mulia," kata Pater Gregor Neonbasu.