Kupang (Antara NTT) - Asia Pasific Learders Malaria Alliance (APLMA) mencatat, Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah daerah satu penyumbang penyakit malaria terbanyak di Indonesia selain Provinsi Papua, Maluku, dan Papua Barat.
"Dari 80 persen kasus malaria di Indonesia, ada empat provinsi penyumbang terbesar pertama Provinsi Papua, menyusul NTT, Maluku dan Papua Barat. Jadi NTT berada di urutan kedua," kata Ketua APLMA dr Andi Nafsiah Walinono Mboi di Kupang, Senin malam.
Ia mengatakan hal itu ketika hadir sebagai narasumber dalam dialog terbuka dengan berbagai lintas sektor bertema "Gerakan Media dan Masyarakat untuk NTT Bebas Malaria" guna mensukseskan pengembangan sektor pariwisata di provinsi kepulauan itu sebagai "The New Tourisme Territory".
Turut hadir sebagai narasumber, Kepala Dinas Pariwisata NTT Marius Jelamu, Kepala Dinas Kesehatan NTT Kornelis Kodi Mete dan Ketua PWI NTT Dion DB Putra yang juga pemimpin redaksi salah satu surat kabar harian setempat, serta semua stakeholder dari berbagai kalangan, LSM lokal maupun internasional, akademisi, dan insan pers atau media massa, dan mahasiswa atau akademisi setempat.
Nafsiah Mboi menjelaskan, dalam identifikasi penyakit malaria terdapat 4 stadium yakni warna merah menunjukkan yang paling tinggi, kemudian, kuning, hijau, hingga putih yang berarti bebas malaria.
Ia mengatakan, terdapat enam kabupaten di antaranya semua kabupaten di Pulau Sumba, Kabupaten Lembata, Ende, dan Belu yang memiliki penularan penyakit yang disebabkan gigitan nyamuk yang sangat endemik atau tinggi.
"Belum ada satu daerah di sini yang tingkat endemisnya malarianya yang sudah berstadium putih atau nol atau betul-betul bebas dari malaria," kata Mantan Menteri Kesehatan RI periode 2012-2014 itu.
Menurut Nafsiah Mboi yang juga sebagai utusan negara atau Kepala Pemerintahan se-Asia Pacific itu, persoalan penyeberan penyakit malaria sekarang telah menjadi perhatian global dan menyita perhatian berbagai negara dunia.
Ia menyebutkan, setidaknya terdapat 21 negara di Asia Pasific yang sudah endemik malaria yang dapat berdampak mematikan itu.
"Dari 21 negara itu, tiga negara penyumbang terbesar di Asia Pasific adalah India, Indonesia, dan Mianmar," katanya.
Ia menjelaskan, dalam kisaran 2000-2015 telah disepakati bersama negara-negara dunia untuk bersatu menurunkan angka kesakitan atau kemarian akibat malaria dan sudah berhasil diturnkan hingga 75 persen.
Namun demikian, lanjutnya, pola penanganan hanya bersifat pengendalian sehingga begitu berhenti maka malaria lepas kendali.
"Banyak sekali negara dunia yang telah berhenti karena berpikir angkanya sudah berhasil turun tapi ternyata begitu berhenti malaria meningkat lagi, sehingga sejak 2015 kita evaluasi lagi dan menggunakan pola penanganan eliminasi sampai betul-betul bebas malaria," katanya.
Oleh karena itu, lanjutnya, pemerintah lintas negara telah bersepakat seperti yang tertuang dalam Sustainable Development Goals tentang kesehatan bahwa paling lambat pada 2030 mendatang, seluruh dunia harus bebas dari penyakit malaria.
Untuk itu, ia meminta semua elemen pemerintah, swasta, LSM, insan pers atau media massa dan masyarakat di Nusa Tenggara Timur untuk memperkuat komitmen bersama dalam menangani malaria yang telah menjadi persoalan dunia tersebut.
"Semua pihak ini harus terus berkomitmen dan bekerja sama mengatasi penyakit ini karena malaria bukan hanya persoalan angka penyebaran, namun tiap angka adalah nyawah manusia," katanya.
Menurutnya, informasi keberadaan penyakit malaria harus dipopulerkan dan diperingatkan kepada masyarakat untuk mendapat penanganan sejak dini.
"Langkah-langkah sederhana yang harus terus dilakukan untuk pencegahan seperti membersihkan sarang nyamuk, membunuh jentik-jentik nyamuk bisa dengan obat pembasmi, hingga mencegah gigitan nyamuk ke manusia," katanya.
NTT Penyumbang Malaria Terbanyak
"Dari 80 persen kasus malaria di Indonesia, ada empat provinsi penyumbang terbesar pertama Provinsi Papua, menyusul NTT, Maluku dan Papua Barat. Jadi NTT berada di urutan kedua," kata Ny Nafsiah Mboi.