Ende, Flores (Antara NTT) - Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompimda) Nusa Tenggara Timur bersama sejumlah masyarakat di Kota Ende, Pulau Flores menggelar renungan bersama menyambut hari kelahiran Pancasila di lapangan Pancasila Ende.
Komandan Korem 161/Wirasakti Kupang Brigjen TNI Teguh Muji Angkasa yang menjadi inspektur dalam malam renungan suci pada Rabu (31/5) malam, mengatakan kegiatan tersebut merupakan bagian dari penghormatan masyarakat NTT kepada Soekarno-Hatta yang telah melahirkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
"Malam ini, kita berkumpul di sini sebagai bagian dari menghormati dan menghargai bapak bangsa kita yakni Soekarno-Hatta melahirkan Pancasila yang merenungkan Pancasila di bawah pohon Sukun," katanya dalam pidatonya, di lapangan Pancasila Kota Ende.
Malam renungan suci yang dimulai tepat pukul 00.00 Wita waktu setempat diikuti oleh seluruh Forkompimda NTT serta sejumlah tokoh masyarakat di Kota Ende yang menjadi kota lahirnya Pancasila itu.
Acara dimulai dengan doa yang dipimpin oleh seluruh pimpinan agama di kota tersebut mulai dari Katolik, Kristen, Islam, Budha serta Hindu. Disamping itu juga dilakukan pembacaan puisi yang berisi tentang perjuangan Bung Karno selama berada di kota Ende.
Lebih lanjut, Komandan berbintang satu tersebut menilai bahwa keberadaan Pancasila telah mempersatukan seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Sangihe Talaud hingga Pulau Rote.
"Nilai-nilai luhur inilah yang telah mempersatukan bangsa Indonesia dengan berbagai keberagaman, baik adat, budaya dan agama, sehingga sampai negara kita tetap kokoh berdiri," tuturnya.
Saat ini banyak pihak-pihak yang ingin memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, namun selalu saja gagal. Oleh karena itu ia mengharapkan agar kota Ende sebagai kota lahirnya Pancasila harus menjadi kota yang terus mempertahankan dasar negara Indonesia tersebut.
Menurut mantan wakil Komandan Kopassus tersebut menambahkan Kota Ende sendiri sudah merupakan kota yang sangat berperan penting dalam kehidupan bangsa Indonesia.
"Ini penting untuk mengukur kadar nasionalisme setiap anak bangsa dalam konteks NKRI sebagai bagian dari jati diri bangsa," katanya di Kupang, Kamis (1/6).
Dia mengemukakan sejauh ini nilai-nilai luhur Pancasila sudah tergerus dan hanya bermunculan di tataran wacana publik. Nilai-nilai Pancasila belum terimplementasi secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di daerah.
"Padahal kita semua tahu bahwa Pancasila itu adalah nafas dan rasionalisasi semua kebijakan berbangsa dan bernegara," kata Jonas.
Ia mengatakan hubungan relasi sosial antarmasyarakat harus kembali ditumbuhkembangkan apa adanya tanpa memandang suku, agama, ras, dan golongan.
"Tidak ada lagi pandangan mayoritas dan minoritas. Kita semua adalah anak-anaka bangsa yang sama hidup dalam satu naungan Ibu Pertiwi dengan asas Pancasila," katanya.
Dengan cara pandang itulah, ia optimistis kehidupan berbangsa dan bernegara di daerah itu makin baik dengan menempatkan semua kepentingan bagi kemajuan dan kesejahteraan seluruh masyarakat yang berkeadilan.
Ia mengatakan keragaman harus dipandang sebagai kekayaan dan potensi daerah serta bangsa untuk menjadikan bangsa dan daerah semakin kuat. Keberagaman adalah anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang harus dimaknai positif dan dimanfaatkan secara positif juga.
Dia mengaku sejauh ini nilai toleransi di Kota Kupang masih terawat dengan semangat kekeluargaan dalam naungan Kota Kupang Kota Kasih.
Penerima Award Keberagaman dari Komnas HAM RI 2013 itu, berharap semangat kekeluargaan dan keragaman terus dirawat secara berkelanjutan untuk kehidupan yang aman, damai, harmonis, dan penuh cinta kasih.
Jonas mengaku untuk mempertahankan suasana yang harmonis dalam bingkai kekeluargaan memang butuh pengorbanan dan keterlibatan seluruh komponen bangsa.
"Karenanya saya berharap semua komponen bangsa untuk tetap berada di titiannya berkarya dengan tetap menggunakan cara pandang berasas Pancasila," kata Jonas.
Ia mengatakan para pendiri bangsa membangun bangsa ini dengan darah dan nyawa serta tidak pernah berpikir untuk memecah belahnya hanya karena sebuah perbedaan suku, agama, dan ras. "Kita semua adalah sama, satu anak bangsa Indonesia," kata Jonas Salean.