Pagi itu sebuah kapal perang KRI Perigi dengan nomor lambung 539 bersandar di pelabuhan Tenua Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Matahari pagi kala itu belum terlalu membakar kulit para pekerja buruh pelabuhan di pelabuhan internasional tenau tersebut.
Saat bersandar di pelabuhan tersebut, puluhan TNI dengan bersenjata lengkap membawa rangsel dengan gagahnya turun dari kapal perang tersebut.
Wajah mereka terlihat lelah. Namun, senyum sumringah masih tetap ada di wajah-wajah lelah tersebut. Satu kelompok berbaret merah, dan satu kelompok lagi berbaret hijau. Dua kelompok itu adalah pasukan TNI AL (Marinir) serta TNI AD yang baru pulang menjaga dua pulau terluar yang berbatasan dengan Republik Demokrat Timor Leste (RDTL) dan Australia.
Dua pulau tersebut adalah Pulau Batek bagian utara yang berbatasan dengan RDTL dan pulau Ndana Rote bagian selatan yang berbatasan dengan Australia.
"Akhirnya, setelah 9 bulan bertugas di Pulau Batek, hari ini akhirnya bisa bertemu dengan keluarga," kata Pratu Sulistiyono, anggota TNI AD dari satuan Yonif 743/PSY.
Baginya, 9 bulan bertugas di Pulau Batek adalah sebuah kehormatan yang sangat tinggi. Namun, di satu sisi rasa rindu kepada keluarga susah untuk terobati.
Hal itu karena jaringan telekomunikasi di pulau terluar itu tidak ada sehingga harus bersabar untuk mencari lokasi-lokasi tertentu yang mempunyai sinyal, setidaknya bisa mendengar suara anak dan istrinya.
Beberapa waktu lalu, saat satuannya bertugas baru 3 bulan di Pulau Batek dari Mabes TNI AD, sempat memberikan alat penguat sinyal yang bisa membantu mereka untuk berkomunikasi dengan keluarganya.
Namun, memasuki musim hujan, penguat sinyal di pulau terluar yang hanya ditempati oleh sejumlah pasukan tersebut rusak akibat disambar petir.
"Jadi, terpaksa kalau mau menelepon keluarga kami harus menyeberang dahulu ke Desa Oepoli, Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, yang untuk sampai ke kawasan itu juga harus melewati gelombang yang tinggi," ujarnya.
Tidak hanya masalah komunikasi kepada keluarga, hidupan makan dan minum sendiri juga menjadi masalah di Pulau Batek tersebut.
Ia mengaku di pulau itu tidak ada minum murni. Air yang ada di pulau tersebut adalah air payau yang bisa kering kapan pun itu.
Jadi, untuk bisa memenuhi kebutuhan air minum di pulau tersebut, pihaknya mengambil air dari Oepoli, kemudian mengantarnya ke pulau tersebut. Demikian pula, dengan kebutuhan makanan dan minuman, semuanya diambil dari Desa Oepoli, yang jdawalnya dilakukan sekali dalam seminggu.
"Kalau saat musim hujan dan cuaca buruk, kami terpaksa tidak punya bahan makanan karena sulit untuk membelinya di Oepoli. Kalau distok, juga takut rusak nanti makanannya. Jadi, terpaksa kami harus berusaha mencari makanan hutan," ceritanya sambil menghela napas.
Kondisi seperti ini baginya merupakan sebuah pengalaman yang tidak akan terlupakan. Lagi pula, baginya untuk menjaga sebuah kedaulatan negara, tugas TNI adalah harus siap dalam keadaan apa pun itu.
Demikian pula, Pratu Muhammad N.H. dari satuan Yonif 3 Marinir yang juga berjaga di Pulau Batek. Pria bertubuh atletis dan kekar itu mengaku bahwa pada bulan Januari lalu seluruh prajurit di Pulau Batek terpaksa mencari ubi hutan untuk bisa bertahan hidup di pulau itu.
"Kami pernah kurang lebih 1 minggu dihantam badai. Pada saat itu beras habis, air minum habis, dan seluruh makanan habis, kami cari ubi hutan agar bisa bertahan hidup di pulau itu," ucapnya.
Namun, satu hal yang bisa dia petik dari kesusahan di pulau itu adalah sebuah kebersamaan. Ketika mendapatkan ikan dua ekor, harus dibagi kecil-kecil agar bisa dimakan oleh 26 prajurit di pulau itu.
Dalam kehidupan sehari-hari, dia mengaku selain bertugas untuk berpatroli menjaga pulau tersebut, kehidupan religius juga terus dilaksanakan di pulau itu yang memang jauh dari kehidupan masyarakat.
Demikian pula, Pelda Mar. Satriyo S. yang bertugas selama 9 bulan di Pulau Ndana yang berbatasan dengan Australia.
Tidak berbeda jauh dengan dua prajurit TNI yang bertugas di Batek, fasilitas yang dimiliki di daerah itu juga belum memadai. Berbeda dengan di Pulau Batek, prajurit TNI di Ndana justru bisa berkomunikasi dengan keluarga hampir setiap hari karena ada sinyal telekomunikasi.
"Akan tetapi, kalau masalah air, menjadi kendala. Hal ini tidak berbeda jauh dengan yang ada di Batek," katanya.
Masalah cuaca juga menjadi kendala bagi para prajurit di daerah tersebut karena memang kalau pada saat musim angin barat, air laut bisa naik sampai ke pembatas pos jaga.
Pada musim hujan, kalau sudah tak ada makanan, para prajurit terpaksa meminta bantuan nelayan yang melintas untuk menjual hasil tangkapan ikannya agar bisa mereka beli.
Mereka yang sudah tiga kali bertugas menjaga pulau terluar di wilayah Indonesia, membagi tugas menanam sayur-mayur, menyuling air, dan memancing ikan kepada anggota satuan tugas.
Di samping itu, mereka juga mengadakan kegiatan keagamaan, salat berjemaah, dan pengajian bagi yang Muslim dan ibadah bersama bagi yang beragama Kristen.
Mereka tidak punya alat transportasi memadai untuk pergi ke Pulau Rote. Mereka hanya punya satu perahu karet dan satu motor roda tiga.
Namun, itu tidak menjadi masalah bagi Sutriyo dan kawan-kawannya.
"Kami adalah anak. Selama ditugaskan oleh Ibu Pertiwi, ke mana saja untuk menjaga kedaulatan dan keamanan NKRI, kami selalu siap," katanya.
Diklaim Australia
Pulau Ndana, satu pulau terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara Australia, berada di selatan Pulau Rote, dan secara administrasi masuk dalam wilayah Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Rote Ndao.
Pulau Ndana yang berpasir putih sempat dikelola dan diklaim oleh seorang pengusaha dari Australia untuk kegiatan pariwisata beberapa tahun lalu.
Namun, TNI kemudian menempatkan prajuritnya di pulau tersebut untuk mencegah pencaplokan pulau tersebut.
Pulau itu dikelilingi ombak yang bisa untuk olahraga "surfing". Namun, di salah satu pintu masuk ke pos jaga, ada sebuah cela yang tidak memiliki ombak yang digunakan kapal untuk bersandar di pesisir pantai pulau itu.
Australia sendiri saat ini sudah menguasai Pulau Pasir (Ashmore Reef) yang menjadi tempat peristirahatan para nelayan tradisional Indonesia selepas mencari ikan di Laut Timor dan tempat pemakaman nenek moyang orang Rote.
Kawasan Pulau Pasir yang kaya dengan ikan serta biota laut lainnya itu sudah ditetapkan sebagai cagar alam dan nelayan Indonesia sudah tidak bisa lagi mencari ikan di perairan sekitarnya
Sebuah Kehormatan
Komandan Korem 161/Wirasakti Kupang Brigjen TNI Teguh Muji Angkasa mengatakan bahwa tugas menjaga pulau terluar adalah sebuah tugas mulia dan terhormat.
"Siapa pun prajurit TNI yang bertugas di dua pulau itu adalah prajurit-prajurit pilihan negara yang dipilih untuk menjaga kedaulatan NKRI," tuturnya.
Baginya sebuah kehormatan yang sudah diberikan itu adalah sebuah tanggung jawab yang harus dijaga oleh setiap prajurit TNI yang bertugas di perbatasan.
Baginya mereka yang bertugas di pulau terluar dan wilayah perbatasan adalah prajurit yang siap tempur dalam keadaan apa pun karena tugas pasukan perbatasan dan pulau terluar adalah pasukan terdepan dan garda pertama sebelum sebuah daerah diserang oleh musuh jika negara dalam keadaan bahaya.
Sebuah kehormatan itu baginya adalah hal yang tidak bisa dibeli dengan satu barang apa pun.
"Jika kehormatan itu sudah dibeli dengan uang, seragam kehormatan yang menandakan itu adalah prajurit TNI sudah tidak punya harga diri lagi," ucapnya.
Para penjaga pulau terluar sendiri lanjutnya terdiri atas 60 prajurit. Dalam jumlah tersebut, ada prajurit TNI AD serta prajurit TNI AL dari satuan Marinir.
Hingga sejauh ini, menurut dia, Mabes TNI masih terus berusaha memberikan fasilitas tambahan dan memperbaiki fasilitas yang telah rusak.
Kisah Para Penjaga Pulau Terluar
"Siapa pun prajurit TNI yang bertugas di dua pulau itu adalah prajurit-prajurit pilihan negara yang dipilih untuk menjaga kedaulatan NKRI," kata Brigjen TNI Teguh Muji Angkasa.