Pemasukan Pariwisata dari Komodo Rp1 Triliun/tahun

id Komodo

Pemasukan Pariwisata dari Komodo Rp1 Triliun/tahun

Binatang langka purba Komodo (varanus kommodoensis) memberi kontribusi terbesar dari sektor pariwisata bagi Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur sebesar Rp1 triliun/tahun. (Foto ANTARA)

World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia mengemukakan pemasukan APBD Kabupaten Manggarai Barat dari sektor pariwisata mencapai Rp1 triliun/tahun.
Labuan Bajo (Antara NTT) - World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia--sebuah organisasi non pemerintah internasional yang menangani masalah konservasi, penelitian dan restorasi lingkungan--mengemukakan pemasukan APBD Kabupaten Manggarai Barat dari sektor pariwisata mencapai Rp1 triliun/tahun.

"Data terbaru yang kami dapatkan menunjukkan bahwa Pulau Komodo yang dihuni binatang langka purba komodo itu memberi sumbangsih terbesar bagi APBD Manggarai Barat di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur sejak 2016," kata Koordinator WWF Labuan Bajo Jansi Sartin kepada Antara di Labuan Bajo, Jumat.

Menurut dia, kontribusi sektor pariwisata terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Manggarai Barat mulai meningkat sejak varanus kommodoensis ditetapkan sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia (New7 Wonders of Nature).

Arus kunjungan wisatawan mancanegara ke Komodo terus meningkat dari tahun ke tahun untuk melihat dari dekat biawak raksasa komodo yang terkenal langka di dunia itu.

Sartin mengatakan tingkat pemasukan dari sektor pariwisata tersebut memiliki dampak positif bagi upaya meningkatan kesejahteraan masyarakat di Labuan Bajo, namun bisa juga menjadi ancaman karena tidak mampu menata dan mengendalikan pengelolaan sampah.

Data yang dihimpun WWF Indonesia di Labuan Bajo menyebutkan bahwa  produksi sampah setiap hari di daerah itu mencapai 112 meter kubik dengan jenis yang beragam. 

Ia mengatakan apabila sampah tersebut dalam bentuk plastik dan limbah yang sulit terurai maka akan membawa dampak buruk terhadap sumber daya laut di sekitarnya seperti biota dan jenis terumbu karang yang ada.

Dalam konteks itulah, secara kelembagaan WWF terus mendorong keberpihakan pemerintah dan seluruh elemen lainnya untuk bisa bersama-sama memiliki satu kendali operasional sampah agar tetap menjaga eksositem perairan di lautan Labuan Bajo menjadi lebih baik.

Ia mengatakan banyak wisatawan seolah memberikan warnning tidak akan kembali lagi jika sejumlah biota laut dan terumbu karang yang menjadi obyek wisata bawah laut mengalami kehancuran. "Sekitar 40 persen wisatawan nyatakan itu, karena rata-rata mereka datang dan menyelam bersama hiu dan parimanta," katanya.

Menurut dia, langkah pengelolaan sampah itu memang sudah dilakukan, namun masih bersifat konvensional, yakni mengumpul dan menyatukan semua sampah tersebut lalu dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).

WWF memiliki langkah pengelolaan yang sudah disampaikan kepada pemerintah, yaitu 80 persen sampah didaur ulang di tempat pembuangan sementara (TPS) dan 20 persen sisanya yang merupakan sampah plastik langsung dibuang ke TPA.