Warga desa wisata Loha Mabar keluhkan jaringan listrik
...Masyarakat di sini menggunakan generator set (genset) atau aki. Kalau tidak ya pakai pelita
Labuan Bajo (ANTARA) - Direktur Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Makmur Bersama Desa Loha, Kecamatan Pacar, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur Yustinus Patris mengeluhkan akses listrik di desa wisata tersebut.
"Masyarakat di sini gunakan generator set (genset) atau aki. Kalau tidak ya pakai pelita," kata Yustinus di Labuan Bajo, Minggu, (22/8).
Yustinus menjelaskan, ketiadaan listrik ini sudah berlangsung lama sejak desa itu berdiri. Bahkan, sebagian masyarakat mengambil peluang bisnis atas kondisi tersebut. Warga yang tidak memiliki sumber listrik akan menarik daya dari pemilik genset dan membayar ke mereka.
Ia mengaku, ada bantuan yang diberikan seperti solar cell dalam bentuk lampu sehen secara gratis. Namun, tidak ada pengawasan dari pemerintah, sehingga beberapa lampu tersebut rusak. Sebagian warga desa juga merasa terbebani dengan bantuan tersebut.
"Pihak pertama yang membawa alat itu bilang kalau sudah bayar Rp300 ribu, maka sudah selesai. Tapi, ada lagi yang datang, katanya masih dari program itu, warga harus bayar lagi biaya pemeliharaan ke rekening mereka setiap bulan. Katanya kalau listrik masuk ke sini, uang yang dikirim itu akan dipakai untuk modal pengadaan meteran," keluhnya.
Menurut Yustinus, program tersebut bagus untuk memudahkan aktivitas warga. Tapi, dia merasa ada kesimpangsiuran informasi dalam sosialisasi terkait listrik PLN di desa wisata itu. Akibatnya, sebagian masyarakat terbebani dan mengembalikan bantuan tersebut.
Ia melanjutkan, pihak desa pernah mengajukan proposal ke pihak PLN untuk pengadaan listrik di desa tersebut pada tahun 2018. Namun, pengadaan listrik hanya dilakukan sampai ke desa Compang yang berjarak 10 km dari desa Loha.
"Semoga listrik bisa segera masuk ke sini sehingga pemanfaatan listrik bagi masyarakat bisa lebih mudah," harapnya.
Hal yang sama juga dikeluhkan mantan Kepala Desa Loha periode 2014-2020 Yohanes Valerianus Sarto.
Ia menguraikan, upaya memperjuangkan listrik di desa wisata itu telah dilakukan sejak tahun 2017. Pihak desa berkoordinasi dengan PLN dan telah dilakukan survei lokasi sebanyak dua kali pada 2018. Namun, kendala yang diutarakan PLN yakni masih menunggu izin dari kementerian kehutanan untuk pembebasan lahan agar bisa menarik jaringan dan menanam tiang.
"Tanda merah untuk tiang sudah ada sejak tahun 2019. Kami terus perjuangkan listrik, masih menunggu di tahun 2021 ini dilaksanakan atau tidak," kata Yohanes.
Ia menjelaskan, banyak hal yang memberatkan masyarakat jika listrik belum masuk ke desa. Untuk mendapatkan arus listrik, warga harus menggunakan daya genset. Warga pun harus membayar untuk menarik daya ke rumah. Selain itu, harga solar yang digunakan untuk genset terlampau mahal bagi mereka. Warga harus membayar Rp20 ribu untuk satu botol solar berukuran 1,5 liter.
Baca juga: DPRD Mabar harap PLN bangun listrik di desa wisata Loha
Ia menambahkan, penggunaan lampu sehen juga menyulitkan warga ketika cuaca mendung. Jika cuaca bagus, lampu sehen bisa menyala sampai pagi. Tapi, jika cuaca tak bagus, lampu hanya bertahan sampai jam 12 malam saja.
Baca juga: Polres Mabar kawal tarif baru PCR di Labuan Bajo
"Mudah mudahan tahun ini segera direalisasikan listrik masuk ke sini. Kalau listrik sudah masuk, berbagai usaha kami yang manual bisa beralih ke listrik. Kalau sudah begitu pasti lebih produktif," ungkapnya optimis.
"Masyarakat di sini gunakan generator set (genset) atau aki. Kalau tidak ya pakai pelita," kata Yustinus di Labuan Bajo, Minggu, (22/8).
Yustinus menjelaskan, ketiadaan listrik ini sudah berlangsung lama sejak desa itu berdiri. Bahkan, sebagian masyarakat mengambil peluang bisnis atas kondisi tersebut. Warga yang tidak memiliki sumber listrik akan menarik daya dari pemilik genset dan membayar ke mereka.
Ia mengaku, ada bantuan yang diberikan seperti solar cell dalam bentuk lampu sehen secara gratis. Namun, tidak ada pengawasan dari pemerintah, sehingga beberapa lampu tersebut rusak. Sebagian warga desa juga merasa terbebani dengan bantuan tersebut.
"Pihak pertama yang membawa alat itu bilang kalau sudah bayar Rp300 ribu, maka sudah selesai. Tapi, ada lagi yang datang, katanya masih dari program itu, warga harus bayar lagi biaya pemeliharaan ke rekening mereka setiap bulan. Katanya kalau listrik masuk ke sini, uang yang dikirim itu akan dipakai untuk modal pengadaan meteran," keluhnya.
Menurut Yustinus, program tersebut bagus untuk memudahkan aktivitas warga. Tapi, dia merasa ada kesimpangsiuran informasi dalam sosialisasi terkait listrik PLN di desa wisata itu. Akibatnya, sebagian masyarakat terbebani dan mengembalikan bantuan tersebut.
Ia melanjutkan, pihak desa pernah mengajukan proposal ke pihak PLN untuk pengadaan listrik di desa tersebut pada tahun 2018. Namun, pengadaan listrik hanya dilakukan sampai ke desa Compang yang berjarak 10 km dari desa Loha.
"Semoga listrik bisa segera masuk ke sini sehingga pemanfaatan listrik bagi masyarakat bisa lebih mudah," harapnya.
Hal yang sama juga dikeluhkan mantan Kepala Desa Loha periode 2014-2020 Yohanes Valerianus Sarto.
Ia menguraikan, upaya memperjuangkan listrik di desa wisata itu telah dilakukan sejak tahun 2017. Pihak desa berkoordinasi dengan PLN dan telah dilakukan survei lokasi sebanyak dua kali pada 2018. Namun, kendala yang diutarakan PLN yakni masih menunggu izin dari kementerian kehutanan untuk pembebasan lahan agar bisa menarik jaringan dan menanam tiang.
"Tanda merah untuk tiang sudah ada sejak tahun 2019. Kami terus perjuangkan listrik, masih menunggu di tahun 2021 ini dilaksanakan atau tidak," kata Yohanes.
Ia menjelaskan, banyak hal yang memberatkan masyarakat jika listrik belum masuk ke desa. Untuk mendapatkan arus listrik, warga harus menggunakan daya genset. Warga pun harus membayar untuk menarik daya ke rumah. Selain itu, harga solar yang digunakan untuk genset terlampau mahal bagi mereka. Warga harus membayar Rp20 ribu untuk satu botol solar berukuran 1,5 liter.
Baca juga: DPRD Mabar harap PLN bangun listrik di desa wisata Loha
Ia menambahkan, penggunaan lampu sehen juga menyulitkan warga ketika cuaca mendung. Jika cuaca bagus, lampu sehen bisa menyala sampai pagi. Tapi, jika cuaca tak bagus, lampu hanya bertahan sampai jam 12 malam saja.
Baca juga: Polres Mabar kawal tarif baru PCR di Labuan Bajo
"Mudah mudahan tahun ini segera direalisasikan listrik masuk ke sini. Kalau listrik sudah masuk, berbagai usaha kami yang manual bisa beralih ke listrik. Kalau sudah begitu pasti lebih produktif," ungkapnya optimis.