Labuan Bajo (ANTARA) - Tokoh adat Lancang, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Theodorus Urus menyesalkan tindakan oknum warga yang mengambil alih hutan yang merupakan milik negara.
"Saya menyesalkan masyarakat sekarang berbuat tidak pikir efeknya," kata Theodorus, di Labuan Bajo, Minggu (29/8).
Ia mengaku tidak tahu-menahu soal kepemilikan lahan pada hutan Bowosie di Manggarai Barat, NTT yang diklaim oleh beberapa oknum warga.
Menurutnya, lahan yang sejak dulu telah diserahkan ke pemerintah daerah untuk pemekaran wilayah Manggarai Barat, tidak pernah diambil lagi oleh mereka.
Secara gamblang Theodorus menuturkan, mereka telah tinggal di Duli, wilayah Nggorang sejak tahun 1942. Pada tahun 1949, petugas kehutanan dari Ruteng, Manggarai datang dan melakukan survei.
Hasilnya, mereka dikatakan telah melanggar batas hutan tutupan, sehingga, mereka mengambil jalan damai dan diimbau harus tinggal di dataran rata.
Baca juga: KPH sebut lahan Satar Kodi akan dibangun persemaian modern
Mereka pun mengajukan permohonan lahan permukiman kepada pemilik ulayat Nggorang Haji Ishaka.
Pada tahun 1950 sampai tahun 1957, sembilan rumah panggung dibuat, dengan satu rumah ditinggali oleh lima-enam keluarga. Ritual adat resmi digelar pada tahun 1960. Ada penyerahan status ulayat di situ.
Baca juga: Kapolres Mabar harap penentuan batas lahan tanpa konflik
Selanjutnya, pada tahun 1961, Raja Ngambut saat itu meminta kepada pemilik ulayat Nggorang Ishaka untuk memberikan tanah bagi pemerintah. Ishaka pun memanggil mereka dan membicarakan hal tersebut. Penyerahan tanah kepada pemerintah terjadi pada tahun itu.
Theodorus menegaskan bahwa masyarakat Lancang tidak pernah melakukan apa pun seperti merambah atau memanfaatkan lahan tersebut. Tidak ada warga Lancang yang mengambil kembali tanah pemerintah yang telah diberikan oleh orang tua mereka sampai sekarang.
"Hutan di belakang Kampung Kaper sampai Wae Nahi itu tidak pernah ditebas dari tahun 1942 sampai sekarang. Kemarin kami buat ritual adat di Wae Nahi, karena hutan ini tidak pernah dirambah dari dulu," katanya pula.
Meskipun hutan tersebut berada dalam hak ulayat mereka, dia menyebut hutan tersebut adalah hutan tutupan. Karena itu, lahan tersebut tidak digarap.
Theodorus menekankan bahwa masyarakat Lancang tidak pernah merusak lahan pemerintah. Mereka bahkan bersama pemerintah untuk menjaga hutan.
"Kami tidak pernah ganggu tanah pemda dari dulu sampai sekarang. Tanah yang dikuasai itu kita tidak tahu siapa yang bagi, siapa punya hak, dia sebagai apa. Pembagiannya kita tidak tahu. Kenapa masyarakat tidak lakukan prosedur meminta hutan dengan pemerintah," katanya pula.
Tokoh adat Lancang Mabar sesalkan warga ambil alih hutan
Saya menyesalkan masyarakat sekarang berbuat tidak pikir efeknya