Kasus Montara Murni Persoalan Kemanusiaan dan Lingkungan

id Montara

Kasus Montara Murni Persoalan Kemanusiaan dan Lingkungan

Anjungan minyak Montara meledak pada 21 Agustus 2009 di Blok Atlas Barat Laut Timor yang mengakibatkan sebagian besar wilayah perairan Indonesia di Laut Timor ikut tercemar sampai ke wilayah persisir NTT. (Foto ANTARA)

kasus pencemaran Laut Timor akibat meledaknya anjungan minyak Montara pada Agustus 2009 adalah persoalan kemanusiaan dan lingkungan yang tak ada hubungannya dengan urusan diplomatik ASEAN.
Kupang (Antara NTT) - Ketua Peduli Timor Barat Ferdi Tanoni menegaskan kasus pencemaran Laut Timor akibat meledaknya anjungan minyak Montara pada Agustus 2009 adalah persoalan kemanusiaan dan lingkungan yang tak ada hubungannya dengan urusan politik dan diplomatik ASEAN.

"Kasus pencemaran tersebut adalah murni urusan kemanusiaan dan lingkungan universal yang tak ada kaitannya dengan diplomatik ASEAN," kata Tanoni di Kupang, Jumat, menanggapi keinginan perusahaan pencemar asal Thailand, PT Exploration and Production Public Company Limited (PTTEP) dan Australia agar kasus tersebut jangan ditindaklanjuti.

Ia mengatakan pada 2010 atau setahun setelah pencemaran besar melanda Laut Timor, PTTEP dan Australia menerima "Claim of Research" dari rakyat NTT melalui Peduli Timor Barat, namun mereka menolak untuk menindaklanjutinya karena ketakutan terhadap luasan wilayah pencemaran minyak yang menjangkau pesisir NTT.

"Urusan masalah pencemaran dengan hukum Australia pun sudah selesai, dan PTTEP telah membayar denda sebesar 510.000 dolar AS di Pengadilan Australia karena mengakui bersalah," ujarnya.

Pada 2012, kata Tanoni, PTTEP meminta kepada Peduli Timor Barat untuk menyampaikan konsep kerja sama penyelesaian petaka tumpahan minyak Montara, dan PTTEP pada prinsipnya menyetujui, namun beralasan masih mempelajari konsep yang ditawarkan tersebut.

"Tetapi, sampai saat ini, janji PTTEP tersebut hanyalah khayalan belaka. Tatkala melakukan penelitian terhadap dampak tumpahan minyak Montara pun, hanya dilakukan di wilayah perairan Australia saja dan tidak pernah melakukannya di perairan Indonesia," katanya.

Namun demikian, kata Tanoni, PTTEP malah membayar (menyewa) beberapa oknum peneliti dari IPB Bogor dan Universitas Indonesia serta sebuah LSM dari Bogor untuk melegitimasi keinginan PTTEP dan Pemerintahan Australia bahwa tumpahan minyak Montara tidak menjangkau wilayah pesisir Nusa Tenggara Timur.

"Ini sebuah tindakan kejahatan terkoordinir secara rapi yang harus diusut tuntas oleh pihak berwenang di Indonesia. Sebab, apa yang dilakukan oleh oknum peneliti tersebut adalah sebuah kebohongan karena sudah dibayar oleh perusahaan pencemar dan Pemerintah Australia untuk meligitimasi keinginannya," kata Tanoni menegaskan.

Sementara itu, Chief Operating Officer Production Asset and Operations Syupport Group PTTEP Thongsthorn Thavisin mengatakan pihaknya ingin agar kasus yang sedang diusut pemerintah Indonesia itu cepat selesai.

PTTEP, kata Thavisin, siap menunjukkan bukti-bukti terkait insiden Montara, mengingat kasus PTTEP di Australia telah selesai. "Kita telah menyelesaikan apa yang diminta hukum (di Australia)," katanya.

Dalam laporan tim investigas Otoritas Keselamatan Maritim Australia (AMSA), di bulan Agustus 2012, PTTEP AA mengaku bersalah di Pengadilan Magistrat Darwin dan membayar denda USD 510.000.

Thavisin menuturkan Indonesia dan Thailand mempunyai persamaan. "Kita kan sama-sama negara ASEAN, satu keluarga. Wajar kalau di dalam keluarga ada sedikit yang salah paham."

PTTEP ingin berinvestasi kembali di Indonesia. Salah satunya menggandeng Pertamina untuk menggarap sektor minyak dan gas. "Dengan begitu kita akan meningkatkan ekonomi dan lapangan kerja di Indonesia," katanya.

Sementara itu, Deputi Koordinasi Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman Arif Havas Oegroseno mengatakan pemerintah Indonesia menghentikan sementara kerja sama bisnis dengan PTTEP, sebagai buntut dari pencemaran yang dilakukan perusahaan minyak itu di lapangan minyak Montara, Laut Timor.

"Kami telah mengirim surat kepada instansi terkait di Indonesia, seperti PT Pertamina (Persero) agar tidak bekerja sama dengan PTTEP. Moratorium terus berjalan sampai ada kepastian hukum," katanya beberapa waktu lalu di kantornya pada 5 Mei 2017.