Jakarta (ANTARA) - Ketua Asosiasi Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan Indonesia (ARSGMPI) Dr. drg. Julita Hendrartini, M.Kes., AAK mengatakan, layanan kedokteran gigi jarak jauh melalui teknologi telekomunikasi atau teledentistry merupakan strategi jitu untuk menjawab tantangan pemerataan dokter gigi di Indonesia.
"Di Indonesia, dengan adanya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), biaya bukan masalah. Masalah kita adalah distribusi dokter (gigi) yang tidak merata, jadi masyarakat tidak punya akses ke dokter gigi. Saya setuju sekali teledentistry ini strategi yang menurut saya jitu dan efektif untuk sekarang," kata Julita saat bertemu media di Jakarta, Senin, (20/3/2023).
Menurut Julita, teledentistry dapat menjadi strategi yang efektif mengingat jumlah perangkat seluler yang terkoneksi internet di Indonesia mencapai sekitar 370 juta, lebih besar dari jumlah penduduk.
"Artinya, sebagian besar masyarakat kita ini sudah punya handphone, bahkan lebih dari satu. Oleh karena itu, kalau kita kembangkan teledentistry secara bersama-sama, tentunya kami dari ARSGMPI akan mendukung," ujar Julita.
Mengenai jumlah dokter gigi di Indonesia, Anggota Dewan Pakar Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI) Prof. Dr. drg. Tri Erri Astoeti, M.Kes mengatakan Indonesia hanya memiliki sekitar 42 ribu dokter gigi. Padahal, pemerintah berharap Indonesia memiliki satu dokter gigi untuk 3 ribu penduduk.
"42 ribu dokter gigi dibanding 270 juta penduduk tentu enggak cukup. Malah WHO minta satu dokter gigi untuk 2 ribu. Jadi Indonesia masih butuh banget dokter gigi sampai 90 ribu," tutur Erri.
Ketua Asosiasi Fakultas Kedokteran Gigi Indonesia (AFDOKGI) drg. Rahardyan Parnaadji, M.Kes., Sp.Pros mengatakan Indonesia memiliki 32 Institusi Pendidikan Kedokteran Gigi (IPDG). Namun, baru di tahun 2022 seluruh institusi tersebut dapat menghasilkan dokter gigi.
"Jadi selama ini, ada empat institusi yang baru, baru bisa menghasilkan dokter gigi apabila sudah melaksanakan (pendidikan) enam tahun, karena empat tahun sarjana dan dua tahun profesi. Jadi begitu berdiri, belum tentu bisa langsung menghasilkan," jelas Rahardyan.
Untuk saat ini, Rahardyan mengatakan, IPDG rata-rata dapat menghasilkan 4 ribu dokter gigi setiap tahunnya. Namun, jumlah tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk.
"Kekurangannya kan ada 90 ribu dokter gigi dan kami menghasilkan 4 ribu setiap tahun. Artinya, untuk mencapai 90 ribu itu, kami butuh waktu 15 tahun dengan catatan jumlah penduduknya tidak berkembang, tapi kan enggak mungkin, artinya ini terus berkejaran," kata Rahardyan.
Dalam mengatasi masalah pemerataan dokter gigi, Rahardyan mengatakan pihaknya bersama Kementerian Kesehatan telah melakukan berbagai upaya. Pertama, seorang dokter gigi yang baru lulus wajib menjalankan pengabdian dan pemantapan profesi dokter gigi di rumah sakit dan puskesmas selama enam bulan.
"Memang ini baru di 17 provinsi, tapi ini masih akan terus meningkat," imbuhnya.
Kedua, lanjut Rahardyan, pemerintah telah menerapkan kebijakan pencabutan moratorium untuk pendirian fakultas kedokteran gigi. Namun, kata dia, langkah tersebut tidak bisa menjawab tantangan pemerataan dokter gigi secara cepat sebab fakultas kedokteran gigi yang baru berdiri membutuhkan waktu enam tahun untuk menghasilkan dokter gigi.
Sehingga, menurut dia, langkah lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan teledentistry.
"Jadi salah satu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan gigi dan mulut adalah melalui teledentistry. Jadi kita tetap bergerak menjawab permasalahan tentang pemerataan (dokter gigi)," ujar Rahardyan.
Baca juga: Tidak semua kasus gigi terpotong dan berlubang harus dicabut
Baca juga: Dokter tidak lagi menyarankan cabut gigi tapi mempertahankan gigi
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: "Teledentistry" jawab tantangan pemerataan dokter gigi di Indonesia