Masyarakat Minta Hak Kelola Hutan Adat Dikembalikan

id Hutan

Masyarakat Minta Hak Kelola Hutan Adat Dikembalikan

Hutan adat Pubabu merupakan lahan hutan seluas 6.000 hektare dalam kawasan Besipae di Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Foto ANTARA/Aloysius Lewokeda

"Pengelolaan hutan adat Pubabu sudah saatnya dikembalikan kepada masyarkat adat Pubabu sebagai pemilik sah hutan itu," kata Emanuel Tampani.
Kupang (Antara NTT) - Sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan (ITA PKK), Senin siang, mendatangi Komisi V DPRD Nusa Tenggara Timur untuk memintah agar hak pengelolaan hutan adat Pubabu dikembalikan.

"Pengelolaan hutan adat Pubabu sudah saatnya dikembalikan kepada masyarkat adat Pubabu sebagai pemilik sah hutan itu," kata Ketua ITA PKK Emanuel Tampani kepada wartawan di Kupang, Senin.

Hutan adat Pubabu merupakan lahan hutan seluas 6.000 hektare dalam kawasan yang bernama Besipae di Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Pada tahun 1982, melalui parah tokoh adat dan pemerintah setempat menyerahkan tanah seluas 6.000 hektare tersebut untuk proyek percontohan intensifikasi peternakan selama lima tahun.

Namun, setelah masa kontrak selesai, baik pihak Australia maupun pemerintah daerah setempat tidak mengembalikan lagi hak pengelolaan hutan tersebut kepada masyarakat adat setempat.

Emanuel menjelaskan, selanjutnya pada April 2008, pemerintah daerah melalui Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) melakukan pembabatan hutan tersebut yang menurutnya, dilakukan secara sepihak.

"Semua pohon-pohon besar, kayu merah, pohon asam, dibabat habis dengan alasan adanya konservasi baru nanti akan ditanam lagi," katanya.

Dia mengatakan, akibatnya, masyarakat di Desa Linamnutu dan Polo yang berada di sekitar hutan mengalami kekeringan air bahkan sumur bor sedalam 60 meter pun kering hingga saat ini.

Masyarakat, katanya, mengeluhkan sawah seluas 50 hektare yang berada di Dusun Besipae dan Anifu pun mengalami kekeringan total dan hewan-hewan liar seperti rusa, babi hutan, burung-burung dan lainnya menjadi hilang atau punah.

"Hutan itu sudah merupakan bagian dari kami dan kami bagian dari hutan, untuk itu kami minta agar hak pengelolaan dikembalikan ke kami," katanya.

Selama ini, katanya, pihaknya juga bersama masyarakat setempat selalu melakukan penanaman pohon secara swadaya untuk memulihkan kondisi hutan tersebut.

Untuk itu, lanjutnya, kalaupun hak pengelolaan tersebut dikembalikan kepada masyarakat adat setempat maka nantinya juga akan dibagi porsinya untuk hutan lindung, konservasi, dan hutan rakyat.

"Karena kami melihat kerusakan-kerusakan itu maka kami minta agar Perda No 8 Tahun 1974 tetang bekas tanah masyarakat adat dikuasai oleh bupati dan gubernur dicabut, sehingga kami bisa mengelolah menjadi lebih baik lagi," katanya.

Menanggapi itu, Ketua Komisi V DPRD NTT Winston Rondo mengapresiasi komitmen masyarat adat tersebut untuk tetap menjaga kelestarian hutan adat.

Politisi Partai Demokrat itu memastikan, pihaknya akan meneruskan aspirasi tersebut dalam pembahasan bersama anggota dewan lainnya agar nantinya bisa dicarikan solusi terbaik bersama pemerintah.

"Sekarang memang wewenang pengelolaan hutan memang sudah diambilalih oleh provinsi, untuk itu akan kita catat dan menjadi poin pembahasan dalam sidang yang dilakukan pada awal 2017 mendatang," katanya.

Winston juga menyarankan agar para anggota komisinya yang juga merupakan pimpinan fraksi di dewan agar membicarakan persolan tersebut dalam rapat-rapat fraksinya.

"Kita juga akan minta salah satu anggota komisi kita Aleta Baun yang berasal dari TTS agar nantinya melakukan reses meninjau langsung ke lokasi hutan tersebut," demikian Winston Rondo.