Artikel - Menjaga Pemilu 2024 dari cemaran politik identitas
...Belajar dari pengalaman sebelumnya, eksploitasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) memiliki daya rusak cukup kuat bagi persatuan dan kerukunan bangsa, bahkan terbukti memantik aksi kekerasan
Praktik pembelahan masyarakat menggunakan instrumen politik identitas diramalkan sejumlah akademikus masih akan digunakan oleh buzzer politik di dunia maya.
Centre for Innovation Policy and Governance mendefinisikan buzzer atau pendengung sebagai individu atau akun yang memiliki kemampuan mengamplifikasi dengan cara menarik perhatian dan atau membangun percakapan dan bergerak dengan motif tertentu.
Instrumen politik identitas masih dipertahankan lantaran dianggap ampuh menggaet suara pemilih pada Pemilu 2019.
Berdasarkan pemantauan Drone Emprit pada 2022, perbincangan politik para pengguna media sosial belum mengarah pada minat adu gagasan atau program, melainkan masih bersifat menyerang pribadi atau personal tokoh berbekal isu SARA.
Drone Emprit merupakan sebuah sistem yang memonitor serta menganalisa media sosial dan platform online berbasis mahadata atau bigdata dengan menggunakan keahlian artificial intelligence dan natural learning process (NLP).
Pakar teknologi AI sekaligus pencipta aplikasi Drone Emprit Ismail Fahmi memprediksi politik identitas masih banyak dipakai dalam konteks negatif untuk menyerang lawan.
Pasalnya, politik identitas dinilai tidak efektif mengambil hati pemilih jika sekadar digunakan untuk mempromosikan diri pasangan calon.
"Misalnya (mendeklarasikan) saya akan memperjuangkan kelompok ini atau kelompok itu. Itu justru akan mempersempit dirinya," ujar Ismail.
Mengacu hasil riset Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada pilkada di Yogyakarta tahun 2017, terpetakan tiga jenis strategi politik yaitu strategi politik program, strategi politik uang, dan strategi politik identitas.
Dekan Fisipol UGM Wawan Mas'udi meyakini semua pasangan calon masih akan menyiapkan strategi-strategi yang sama pada Pemilu 2024.
Kendati dipastikan strategi program bakal disiapkan, namun manakala strategi tersebut tak mampu memberikan keyakinan politik maka pasangan calon dimungkinkan menggunakan strategi politik identitas dengan merangkul dan memanfaatkan kelompok tertentu.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof. Fathul Wahid menyebut politik identitas kerap dikaitkan dengan agenda aksi aktivisme politik yang di dalamnya berisi anggota kelompok berbasis identitas.
Mereka mengorganisasi dan memobilisasi diri untuk melawan ketidakadilan yang dialami karena struktur, sistem, serta praktik yang menghegemoni.
Pelacakan literatur menemukan bahwa politik identitas lahir pada 1970-an di Amerika sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan.
Kala itu perempuan kulit hitam di Amerika yang menjadi warga kelas dua di bawah penindasan kulit putih memperjuangkan kesetaraan tanpa mengabaikan kepentingan bersama.
Namun, para ilmuwan di bidang politik menilai orientasi mengusung politik identitas telah mengalami perubahan.
Alih-alih memperjuangkan kepentingan bersama, politik identitas yang dibingkai dengan misinformasi, hoaks, ujaran kebencian, serta peyorasi yang mendiskreditkan kelompok lain justru menjauhkan dari keadilan dan kesetaraan.
Politik identitas dianggap usang
Centre for Innovation Policy and Governance mendefinisikan buzzer atau pendengung sebagai individu atau akun yang memiliki kemampuan mengamplifikasi dengan cara menarik perhatian dan atau membangun percakapan dan bergerak dengan motif tertentu.
Instrumen politik identitas masih dipertahankan lantaran dianggap ampuh menggaet suara pemilih pada Pemilu 2019.
Berdasarkan pemantauan Drone Emprit pada 2022, perbincangan politik para pengguna media sosial belum mengarah pada minat adu gagasan atau program, melainkan masih bersifat menyerang pribadi atau personal tokoh berbekal isu SARA.
Drone Emprit merupakan sebuah sistem yang memonitor serta menganalisa media sosial dan platform online berbasis mahadata atau bigdata dengan menggunakan keahlian artificial intelligence dan natural learning process (NLP).
Pakar teknologi AI sekaligus pencipta aplikasi Drone Emprit Ismail Fahmi memprediksi politik identitas masih banyak dipakai dalam konteks negatif untuk menyerang lawan.
Pasalnya, politik identitas dinilai tidak efektif mengambil hati pemilih jika sekadar digunakan untuk mempromosikan diri pasangan calon.
"Misalnya (mendeklarasikan) saya akan memperjuangkan kelompok ini atau kelompok itu. Itu justru akan mempersempit dirinya," ujar Ismail.
Mengacu hasil riset Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada pilkada di Yogyakarta tahun 2017, terpetakan tiga jenis strategi politik yaitu strategi politik program, strategi politik uang, dan strategi politik identitas.
Dekan Fisipol UGM Wawan Mas'udi meyakini semua pasangan calon masih akan menyiapkan strategi-strategi yang sama pada Pemilu 2024.
Kendati dipastikan strategi program bakal disiapkan, namun manakala strategi tersebut tak mampu memberikan keyakinan politik maka pasangan calon dimungkinkan menggunakan strategi politik identitas dengan merangkul dan memanfaatkan kelompok tertentu.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof. Fathul Wahid menyebut politik identitas kerap dikaitkan dengan agenda aksi aktivisme politik yang di dalamnya berisi anggota kelompok berbasis identitas.
Mereka mengorganisasi dan memobilisasi diri untuk melawan ketidakadilan yang dialami karena struktur, sistem, serta praktik yang menghegemoni.
Pelacakan literatur menemukan bahwa politik identitas lahir pada 1970-an di Amerika sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan.
Kala itu perempuan kulit hitam di Amerika yang menjadi warga kelas dua di bawah penindasan kulit putih memperjuangkan kesetaraan tanpa mengabaikan kepentingan bersama.
Namun, para ilmuwan di bidang politik menilai orientasi mengusung politik identitas telah mengalami perubahan.
Alih-alih memperjuangkan kepentingan bersama, politik identitas yang dibingkai dengan misinformasi, hoaks, ujaran kebencian, serta peyorasi yang mendiskreditkan kelompok lain justru menjauhkan dari keadilan dan kesetaraan.
Politik identitas dianggap usang