Jakarta (ANTARA) - Equity Analis PT Indo Premier Sekuritas (IPOT) Imam Gunadi merekomendasikan pelaku pasar untuk mencermati rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) dan kelanjutan tensi geopolitik di Timur Tengah sepanjang sepekan ke depan.
Terkait data inflasi AS yang akan dirilis pada Kamis (10/10/2024), ia menjelaskan data ini akan sangat mempengaruhi kebijakan The Fed dalam menentukan kebijakan moneter khususnya pada pertemuan November dan Desember 2024 mendatang.
"Data inflasi AS pada Agustus berada di angka 2,5 persen year on year (yoy) dan diproyeksikan turun ke 2,3 persen (yoy) mendekati target The Fed di level 2 persen, sehingga jika nanti data yang dirilis sesuai dengan ekspektasi pasar atau lebih rendah, tentunya akan menjadi katalis positif bagi pasar," ujar Imam di Jakarta, Senin, (7/10).
Ia melanjutkan data inflasi bulanan AS juga tidak kalah penting untuk melihat progres dalam time frame yang lebih pendek, yang mana inflasi bulanan AS diproyeksikan akan turun ke level 0,1 persen month to month (mtm) dari periode sebelumnya di level 0,2 persen (mtm).
Sementara itu, terkait sentimen kelanjutan perang di Timur Tengah, ia menyebut pelaku pasar masih perlu memperhatikan selama pekan ini, yang mana hingga Minggu (6/10/2024), masih terjadi serangan beruntun yang melanda pinggiran selatan Beirut.
Adapun serangan ini terjadi setelah beberapa hari pengeboman oleh Israel terhadap pinggiran Beirut, yang dianggap sebagai benteng bagi kelompok bersenjata Hezbollah, yang didukung Iran, dan mengakibatkan kematian pemimpin mereka, Sayyed Hassan Nasrallah.
"Berlanjutnya perang ini berpotensi membuat harga minyak naik lagi dan ada probability dapat mempengaruhi laju inflasi sehingga menjadi sentimen yang buruk bagi ekonomi. Namun di sisi lain, emiten-emiten yang bergerak di industri minyak dan gas (migas) akan diuntungkan atas kenaikan harga minyak ini," ujar Imam.
Lebih lanjut, dari dalam negeri, Indonesia akan merilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), yang menurutnya, akan menjadi rujukan untuk melihat bagaimana point of view konsumen terhadap beberapa indikator.
Adapun, beberapa indikator tersebut, di antaranya kondisi ekonomi saat ini, prospek ekonomi, ketersediaan lapangan kerja, serta ekspektasi pendapatan untuk saat ini dan enam bulan ke depan.
"Jika data ini naik akan menjadi sentimen positif bagi pasar karena pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 50 persen porsinya berasal dari consumption atau rumah tangga," ujar Imam.
Terkait dengan sentimen yang memengaruhi pasar sepanjang pekan lalu, mulai 30 September sampai 4 Oktober 2024, Imam menjelaskan bahwa stimulus pemerintah China, ketegangan geopolitik di Timur Tengah, serta aksi profit taking pelaku pasar menjadi katalisator.
Ia menjelaskan pemerintah China melalui People's Bank of China (PBoC) menggelontorkan berbagai stimulus untuk meningkatkan aktivitas perekonomiannya yang lemah, di antaranya memangkas giro wajib minimum (GWM) dan tingkat suku bunga.
Selain itu, juga merilis special bond sebesar 2 triliun yuan China, dan memberikan stimulus pada pasar saham dalam bentuk swap sebesar 500 miliar yuan China, serta memberikan fasilitas pinjaman bagi perusahaan yang ingin melakukan buy back sebesar 300 miliar yuan China.
"Pada dasarnya paket stimulus tersebut akan memberikan dampak positif bagi Indonesia, karena China adalah negara mitra dagang terbesar Indonesia. Namun, dengan adanya stimulus lain di pasar saham, hal ini dapat menarik investor saham dari Indonesia untuk berinvestasi di China karena berpotensi membuat harga saham terkerek dengan adanya stimulus tersebut," ujar Imam.
Lanjutnya, ketegangan geopolitik di Timur Tengah telah membuat harga minyak naik 9 persen baik Brent maupun West Texas Intermediate (WTI) selama pekan lalu, serta meningkatkan ketidakpastian.
"Saat ini, kondisi ekonomi di beberapa negara sedang melambat seiring dengan naiknya harga minyak yang dapat memperburuk kondisi perekonomian. Jika harga minyak atau energi naik maka biaya produksi juga akan naik. Ketika biaya produksi naik hal ini dapat menekan margin laba perusahaan," ujar Imam.
Kemudian, ia menyebut aksi profit taking pelaku pasar, yang mana sejak 19 Agustus 2024, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencetak rekor All-Time High (ATH)-nya hingga mencapai puncaknya pada 19 September 2024 ke level 7.853.
"Hal ini membuat pasar kemungkinan mengamankan keuntungannya terlebih dahulu di tengah perlambatan ekonomi dan konflik di Timur Tengah," ujar Imam.
Baca juga: IHSG ditutup melemah seiring pasar cermati geopolitik Timteng
Baca juga: Simak rekomendasikan saham pilihan di perdagangan Senin menurut Analis