Opini - Mengurangi risiko bencana dari desa

id desa,bencana,siaga bencana,potensi bencana,mitigasi,destana,podes,bps,opini bencana Oleh Nawang Indah Cahyaningrum dan Lili Retnosari *)

Opini - Mengurangi risiko bencana dari desa

Kondisi Pasar Boru dengan latar belakang erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki di Desa Boru, Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, NTT, Minggu (17/11/2024). Pasar yang merupakan pusat perdagangan terbesar dan teramai di Flores Timur bagian barat itu kini ditinggal para pedagangnya yang mengungsi ke sejumlah titik aman pascaerupsi besar Lewotobi hampir dua pekan lalu. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/YU

Di wilayah dengan akses teknologi yang memadai, penyebaran informasi mitigasi bencana dapat dilakukan secara cepat dan efektif, namun di desa-desa dengan akses sinyal yang terbatas, sistem peringatan dini serta informasi penting lainnya sulit tersamp

Jakarta (ANTARA) - Sebuah organisasi non-pemerintah yang berbasis di Jerman, dalam laporan mengenai risiko pada 2023 menempatkan Indonesia sebagai negara kedua paling berisiko terhadap bencana, dengan skor indeks risiko sebesar 43,50. Padahal, pada tahun sebelumnya, Indonesia masih berada di urutan ketiga, dengan skor 41,46. Peningkatan ini mengindikasikan risiko terhadap bencana di Indonesia semakin besar dan perlu mendapat perhatian serius.

Tidak bisa dipungkiri, berbagai jenis bencana memang masih sering terjadi di Indonesia. Memasuki penghujung tahun 2024 ini, contohnya, sejumlah wilayah di Indonesia dilanda bencana, seperti banjir, tanah longsor, angin puting beliung, letusan gunung api, kekeringan, serta kebakaran hutan dan lahan. Baru-baru ini, juga terjadi bencana meletusnya Gunung Lewotobi Laki-laki di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.

Berbagai bencana yang melanda Indonesia tersebut tentu tidak hanya menimbulkan kerusakan infrastruktur, melainkan juga memakan korban manusia yang tidak sedikit. Dari sinilah, upaya pengurangan risiko bencana menjadi sangat penting dilakukan, tidak hanya oleh pemerintah, tapi juga seluruh elemen masyarakat.

Hasil pendataan Potensi Desa (Podes) 2021 yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tidak semua desa/kelurahan di Indonesia berada pada permukiman yang aman. Terdapat 22,69 persen desa/kelurahan yang terletak di puncak/tebing, 16,32 persen di bantaran sungai, dan 5,70 persen di bawah jaringan transmisi listrik tegangan tinggi (SUTET/SUTT/SUTTAS).

Selain itu, pada 86,62 persen desa/kelurahan di Indonesia juga terdapat penyandang disabilitas, mencakup berbagai jenis disabilitas, seperti tunagrahita, tunadaksa, dan tunanetra. Kondisi geografis yang rawan serta adanya kelompok rentan ini membuat upaya pengurangan risiko bencana yang dimulai dari tingkat desa/kelurahan menjadi sangat penting agar dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Antisipasi terhadap bencana alam sebenarnya sudah diupayakan di beberapa desa/kelurahan di Indonesia. Hasil pendataan Podes 2021 mencatat bahwa 41,94 persen desa/kelurahan telah memiliki langkah-langkah antisipasi, seperti sistem peringatan dini, perlengkapan keselamatan, jalur evakuasi, serta normalisasi sungai dan kanal.

Sejak 2012, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga telah mencanangkan program Desa Tangguh Bencana (Destana) melalui Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK). Hingga saat ini, sudah ada 1.506 desa/kelurahan yang mendapat penguatan ketangguhan, namun implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan.

Dalam pelaksanaan Destana, peran serta masyarakat dan pemanfaatan teknologi informasi menjadi sangat krusial. Sistem peringatan dini membutuhkan inovasi dalam teknologi informasi, baik dalam penggunaan sistem maupun penyebaran informasinya kepada warga.

Penyebaran informasi terkini terkait bencana dan pemahaman masyarakat mengenai mitigasi bencana merupakan bagian penting dari upaya pengurangan risiko bencana yang harus dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Tentu saja, ini hanya bisa dilakukan dengan efektif jika sarana dan prasarana teknologi informasi yang tersedia sudah memadai.

Salah satu infrastruktur yang sangat dibutuhkan adalah sinyal telepon seluler yang kuat. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2021, sekitar 72,93 persen desa/kelurahan di Indonesia memiliki sinyal telepon seluler yang kuat, namun masih ada 20,94 persen desa/kelurahan dengan sinyal lemah dan 6,13 persen desa/kelurahan tanpa sinyal sama sekali.

Ketidaktersediaan sinyal ini perlu segera diatasi, misalnya melalui pembangunan base transceiver station (BTS). Pasalnya, terdapat 45.034 desa/kelurahan yang belum memiliki menara BTS pada tahun tersebut, menghambat upaya penyebaran informasi secara real-time.

Selain ketersediaan sarana dan prasarana teknologi informasi, keterampilan masyarakat dalam menggunakan fasilitas tersebut juga perlu ditingkatkan. Kombinasi antara infrastruktur yang memadai dan keterampilan masyarakat dalam memanfaatkan teknologi informasi menjadi kunci keberhasilan dalam pembangunan sistem peringatan dini yang efektif.

Berdasarkan penghitungan BPS, Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Indonesia pada tahun 2022 berada di angka 5,85, dengan kategori tinggi. Skor ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang berada di angka 5,76, menunjukkan bahwa pembangunan TIK di Indonesia semakin baik. Hanya saja, jika dilihat dari nilai indeks di tingkat provinsi, hanya satu provinsi yang memiliki kategori tinggi, sementara 32 provinsi lainnya masih berada pada kategori sedang dan satu provinsi berkategori rendah.

Ketimpangan ini menjadi tantangan tersendiri dalam mewujudkan upaya mitigasi bencana yang merata di seluruh wilayah Indonesia.

Fakta ketimpangan dalam pembangunan teknologi informasi ini menciptakan hambatan dalam upaya pengurangan risiko bencana di tingkat desa.

Di wilayah dengan akses teknologi yang memadai, penyebaran informasi mitigasi bencana dapat dilakukan secara cepat dan efektif, namun di desa-desa dengan akses sinyal yang terbatas, sistem peringatan dini serta informasi penting lainnya sulit tersampaikan tepat waktu.

Hal ini berpotensi meningkatkan risiko korban jiwa dan kerugian materi, terutama di wilayah-wilayah terpencil yang rawan bencana. Oleh karena itu, percepatan pembangunan infrastruktur telekomunikasi harus menjadi prioritas agar akses informasi dapat merata, hingga ke pelosok desa.

Tidak kalah penting adalah perlunya pendidikan dan pelatihan mitigasi bencana bagi masyarakat desa, terutama kelompok rentan, seperti lansia dan penyandang disabilitas. Masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam simulasi bencana dan diberikan edukasi mengenai langkah-langkah penyelamatan diri.

Di sinilah peran perangkat desa dan organisasi lokal menjadi sangat strategis dalam membangun kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat. Ketika masyarakat desa sudah memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai, mereka tidak hanya menjadi lebih tangguh dalam menghadapi bencana, tetapi juga mampu menjadi garda terdepan dalam merespons dengan cepat, mengurangi dampak bencana secara efektif.

 

*) Nawang Indah Cahyaningrum dan Lili Retnosari adalah statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS)

 



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengurangi risiko bencana dari desa