JAKARTA (ANTARA) - Tradisi bertutur dalam hal ini mendongeng atau bercerita menjadi media yang relatif efektif untuk membangun kedekatan emosi dengan anak-anak seraya menyampaikan pesan moral dan keteladanan. Maka pendidikan adab dan tata krama bisa dikembangkan dengan metode ini, agar defisit akhlak pada generasi Z tidak terulang pada gen Alpha dan seterusnya.
Generasi Z yang umumnya piawai sebagai pengguna teknologi tapi memiliki kekurangan dalam hal adab dan tata krama, sering menjadi pergunjingan publik dan beban zaman. Jika kekurangan pada gen Z perlu penanganan serius, beda halnya pada gen Alpha yang masih bisa dicegah dengan gaya pola asuh yang diperbagus.
Sentuhan, kedekatan, keteladanan dan metode penyampaian nasihat orang tua pada anak berpengaruh besar terhadap hasil karakter yang terbentuk. Era digitalisasi kerap membuat kehadiran dan kedekatan orang tua dengan anak tergantikan dengan gawai.
Namun dengan menghidupkan kembali tradisi mendongeng di rumah, setidaknya bisa meminimalisasi kecanduan anak pada gawai. Belum lagi segudang manfaat seni bertutur ini untuk kesehatan otak dan mental anak yang berperan dalam membentuk karakter mereka.
Media cerita dapat mempererat ikatan emosional orang tua dengan anak dalam kebersamaan itu. Alur cerita yang disajikan dengan ekspresi mampu melatih daya kritis, imajinasi, dan pengenalan berbagai jenis emosi.
Selebihnya, pembacaan buku dongeng akan meningkatkan kemampuan berbahasa melalui banyaknya kosa-kata baru yang diperdengarkan. Sementara materi cerita yang menghadirkan beragam tokoh dengan keteladanan lewat peran, mengajarkan pada anak-anak mengenai nilai-nilai moral. Dan bila kegiatan mendongeng bersama anak menjadi rutinitas, aneka cerita yang mereka peroleh dapat memperluas wawasan anak.
Menurut psikolog anak yang juga konsultan di bidang pendidikan Neuro-Developmental di AS, Sally Goddard Blythe, dongeng berperan dalam memberikan gambaran tentang rasa (takut, sedih, marah) dan mimpi anak dalam kehidupan nyata, melalui fantasi dalam cerita. Pengenalan nilai-nilai mengenai baik atau buruk, dapat diwakilkan oleh karakter tokoh dalam dongeng. Selain itu, cerita dongeng juga menunjukkan tentang konsekuensi dari setiap pilihan yang diambil. Mendiskusikan mengenai nilai-nilai tersebut dengan anak akan lebih mudah dijelaskan lewat dongeng.

Peradaban pertama
Tradisi bertutur merupakan peradaban manusia paling awal sebelum adanya huruf alphabet, yang kemudian mengembangkan cara menulis dan membaca. Seni bertutur adalah bagian dari sastra lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi oleh nenek moyang bangsa Indonesia, banyak mengisahkan tentang cerita rakyat, legenda, juga mitos.
Dahulu, dongeng disampaikan orang tua kepada anak sebagai pengantar tidur, sembari merangkul sang buah hati dalam dekapan. Adegan inilah yang membuat dongeng sekaligus menghadirkan kehangatan kasih sayang.
Anak-anak yang surplus kasih sayang akan memiliki hati yang lembut sehingga lebih mudah dididik dan dinasihati.
Zaman teknologi yang membanjiri masyarakat dengan beraneka produk gawai membuat tradisi bertutur dalam lingkup keluarga perlahan hilang. Para orang tua yang memiliki kesibukan sendiri kerap menenangkan anak-anaknya dengan memutarkan tayangan hiburan via gawai. Dan anak lebih asyik dengan gawai ketimbang interaksi romantisasi dengan ayah atau ibunya.
Mendidik dan mengarahkan anak tanpa adanya kedekatan emosional akan menjadi kurang efektif. Dari sini picu pasal mengapa generasi Z yang lebih akrab dengan teknologi dan gawai cenderung mengalami defisit akhlak.
Beruntung tradisi bertutur dalam konteks mendongeng, menurut Dewi Kumala Sutra, masih ada bahkan didukung penuh oleh pemerintah.
Dewi Kumala, pendongeng dari Kampung Dongeng Indonesia, yang lebih kesohor dengan panggilan Kak Dede itu, mengungkapkan bahwa banyak program pemerintah yang bekerja sama dengan komunitas pendongeng menggelar berbagai pelatihan untuk para pendongeng dalam program literasi, bahkan di sekolah menjadi kurikulum wajib.
Ketika ditanya mengenai “kekuatan” mendongeng sebagai media edukasi dalam membentuk karakter anak, menurut dia efektif.
“Menurut saya sangat efektif, karena memang anak itu masanya bermain sehingga ketika kita memberikan materi lewat cerita itu sangat cepat ditangkap oleh anak,” kata dia usai tampil mendongeng di TK Sumber Harapan Depok, Jawa Barat, akhir pekan kemarin.
Ia pun mengenang awal mula ketertarikannya dengan dunia dongeng. Semasa sekolah dulu, Kak Dede terkesan dengan gaya mengajar guru Agama Islam. Menurutnya, sang guru menyampaikan materi dengan mengemasnya dalam cerita, sehingga pelajaran itu menjadi favorit yang selalu dia tunggu-tunggu.
Selain orang tua, guru di sekolah yang mendidik - bukan sekadar mengajar - murid-muridnya dengan cara yang mengasyikkan hampir pasti lebih berhasil dalam menanamkan nilai-nilai etika dan moral.
Teknologi dan nilai
Kemajuan teknologi bukan kenyataan yang dapat ditolak. Yang lebih baik dilakukan adalah memanfaatkan sebesar-besarnya untuk meningkatkan peradaban masyarakat seraya menekan dampak buruk yang diakibatkan.
Kehadiran manusia yang mulai tergantikan oleh teknologi terutama gawai, jangan sampai mendominasi dalam lingkungan kehidupan keluarga yang menggerus momen kebersamaan dan romantisme antara orang tua dengan anak, anak dengan saudara, serta penghuni rumah lainnya.
Kehangatan keluarga mutlak dibutuhkan dalam proses menanamkan nilai-nilai agama termasuk di dalamnya etika dan moral yang bermuara pada pembentukan akhlak anak.
Jika saat ini defisit akhlak pada generasi Z telanjur terjadi, bukan berarti tak dapat ditangani. Orang tua sebagai garda terdepan yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan anak, dapat bergegas mengembalikan tradisi nenek moyang (komunikasi lisan yang mengesankan) dalam merangkul kembali anak mereka yang hampir lepas kendali.
Sementara kepada generasi Alpha, tahapan pembentukan karakter masih berlangsung sehingga tradisi bertutur dapat dilestarikan bersama mereka, demi merengkuh hati si generasi digital ini.
Bila kedekatan dan kehangatan hubungan dengan anak-anak terjalin baik, bukan perkara sulit untuk mengukir karakter mereka sesuai tuntunan agama.
Memainkan seni bertutur mungkin masih bisa manjur untuk terapi anak-anak yang telanjur susah diatur.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menekan defisit akhlak melalui tradisi bertutur